Peduli Pasien Gagal Ginjal, RSUP Prof Kandou Berikan Edukasi Tentang Akses Vaskular

KPCDI – Kurva pasien penyakit ginjal di Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatkan. Data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) mencatat pada tahun 2019 jumlah pasien aktif ginjal kronik di Indonesia adalah 185.901 orang dengan pasien baru sebanyak 69.124 jika dibandingkan dari tahun sebelumnya.

Berdasarkan demografi, penyebaran penyakit ginjal kronik di Indonesia merata mulai dari wilayah barat hingga wilayah timur. Hal ini menandakan bahwa laju penyebaran penyakit ginjal kronik sudah berada di tahap mengkhawatirkan dan perlu dilakukan upaya pencegahan agar angkanya tidak melesat semakin tinggi.

Dari sisi perawatan, pasca di diagnosis menderita penyakit ginjal kronik, terdapat tiga jenis terapi yang biasa digunakan oleh pasien. Pertama, hemodialisis atau cuci darah, kedua, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan ketiga, terapi transplantasi ginjal. Dari ketiga jenis tersebut, hemodialisis atau cuci darah menjadi pilihan terbanyak yang saat ini digunakan.

Dalam hal melakukan cuci darah, diperlukan serangkaian treatment yang harus dilakukan oleh pasien. Salah satunya adalah membuat akses vaskular yang ideal dengan keandalan, bebas komplikasi, dan dapat digunakan pada saat dialisis sesuai kebutuhan pasien.

Merujuk jenisnya, Arteriovenous Shunt (AV Shunt) atau disebut Cimino merupakan salah satu akses vaskular yang paling baik digunakan oleh pasien untuk kebutuhan cuci darah. AV Shunt merupakan tindakan operasi menyambungkan (anastomosis) arteri dan vena pada lengan dengan tujuan menjadikannya sambungan sebagai akses hemodialisis.

Data Indonesian Renal Registry (IRR) mencatat sebanyak 1.526.022 AV Shunt telah terpasang di tubuh pasien. Angka tersebut sangat memungkinkan bertambah seiring dengan semakin meningkatnya jumlah pasien ginjal di Indonesia.

Di Indonesia, penggunaan AV Shunt sebagai akses vaskular sudah diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia tak terkcuali di wilayah timur. RSUP Prof Dr R.D Kandou, Manado, Sulawesi Utara, menjadi salah satu pusat rumah sakit tipe A pemasangan AV Shunt untuk wilayah timur Indonesia.

Dokter Bedah Vaskular RSUP Prof Dr R.D Kandou, dr. Richard Sumangkut, SpB., Subsp.BVE(K) menjelaskan angka pemasangan akses vaskular di Manado cenderung terus meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2021 tercatat sebanyak 486 kasus pembuatan akses vaskular. Rinciannya pemasangan kateter double lumen sebanyak 285 pemasangan atau repair, AFF atau removasi 71 kasus, 30 kasus pemasangan AV Fistula di lengan bawah, 61 kasus lengan atas BC, 3 kasus lengan atas BB, 12 kasus pembedahan fistula salvage, 22 kasus endovascular, dan 2 kasus hybrid.

Dilihat secara jenis kelamin, laki-laki masih mendominasi dengan 56,5% dan perempuan sebesar 43,4%. Adapun rentang usianya adalah <40 tahun adalah 10,8%, 40-60 tahun 59,7%, dan >60 tahun adalah 29,3%. Akses Av Shunt pemasangan pada lengan bawah adalah 30,4% dan lengan atas 69,5%.

Sumber: Tim Bedah Vaskular RSUP Prof Dr R.D Kandou

Sementara tahun 2022 total pemasangan akses vaskular yang dilakukan mencapai 623 kasus dengan rincian kateter double lumen sebanyak 377 kasus pasang, 71 kasus removal; AV Shunt/Fistula dengan 23 kasus lengan bawah, 68 kasus (BC), 2 kasus (BB); dan Fistula Salvage Procedure dengan 7 kasus pembedahan, 71 kasus endovaskular, dan 2 kasus hybrid.

Adapun data demografi akses vaskular untuk hemodialis di RSUP Prof Dr R.D Kandou pada tahun 2022 adalah laki-laki 48,9% dan perempuan 51%. Rentang usianya adalah <40 tahun 7,6%, 40-60 tahun 57,6%, dan >60 tahun 34,7%. Sementara khusus akses AV Shunt pembuatan di lengan bawah sebanyak 23,9% dan lengan atas 76%.

Sumber: Tim Bedah Vaskular RSUP Prof Dr R.D Kandou

“RS Kandou ini memiliki dua gedung hemodialisis dan mempunyai fasilitas mesin 75-100 hemodialisis. Sehingga dalam satu hari akses vaskular yang kami tangani bisa 5-10 kasus. Saat ini total pasien 300-400 orang,” kata dr. Richard ketika berbincang dengan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia, Rabu (24/5).

Tahapan Pembuatan AV Shunt

Sebelum melakukan operasi pembuatan AV Shunt, pasien akan melewati beberapa tahapan mulai dari perencanaan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan USG baik di tangan maupun di paha, pengecekan komorbid penyakit, vascular mapping, dan memonitor riwayat pemakaian kateter sebelumnya jika memang ada.

Dokter Richard berujar serangkaian pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari tempat pembuatan akses yang terbaik. Musababnya, akses cuci darah atau AV Shunt harus berada di lokasi yang tepat agar adekuasi hemodialisis dapat tercapai. Akses yang tepat juga akan membuat ketahanan lebih lama dan minim risiko komplikasi. Oleh karenanya, akses biasanya akan dibuat pada tangan yang jarang digunakan untuk beraktivitas.

Tempat terbaiknya adalah di pergelangan tangan sementara kerugiannya adalah akses flow darahnya lebih kecil. Dan jika di pergelangan tangan tidak bisa, maka bisa membuat akses AV Fistula di siku dengan keuntungan flownya lebih besar dan akses memasukan jarumnya lebih gampang. Sementara kerugiannya adalah komplikasi bisa lebih sering terjadi.

Sebelum melakukan pembuatan akses dokter akan mengukur pada dua pembuluh darah yaitu arteri dan vena. Minimal diameter pembuluh darah yang baik adalah selebar dua millimeter. Lalu setelah dibuat akses AV Fistula baru bisa digunakan setelah 6-12 minggu dari awal pembuatan.

Pada waktu tersebut dokter akan melakukan pemantauan apakah pembuatan akses tersebut sudah matang. Misalnya getaran pembuluh darahnya bagus dan akses darahnya sudah lancar. Sementara itu jika di tengah jalan terjadi penyempitan maka akan dilakukan perbaikan.

Fasilitas bedah vaskular merupakan program unggulan di RSUP Prof Dr R.D Kandou, sehingga disini menyiapkan fasilitas yang sangat menunjang untuk bedah vaskular. Layanan bedah vaskular, untuk daerah Indonesia timur atau Manado adalah satu leader. Jadi kita disini merupakan RS jejaring untuk bedah pendidikan vaskular di Indonesia,” ujarnya.

Tantangan Pembuatan AV Shunt

Meskipun AV Shunt menjadi salah satu akses vaskular terbaik untuk melakukan hemodialisis, tentunya tetap memiliki tantangan dan masalah pada saat proses pembuatannya. Dokter Bedah Vaskular RSUP Prof Dr R.D Kandou, dr. Djony Tjandra, SpB. Subsp. BVE (K) menjelaskan AV Shunt merupakan life line atau jalur kehidupan untuk pasien hemodialisis.

Sehingga, pada saat pembuatannya, diperlukan ketelitian dan kehati-hatian agar akses yang dibuat bisa bertahan seumur hidup pasien. Namun, permasalahan pembuatan AV Shunt seperti imatur atau stenosis. Stenosis ialah penyempitan pembuluh darah yang tidak normal dan bisa memperlambat serta mengurangi aliran darah melalui AV Shunt pasien.

Akibatnya, hemodialisis pasien tidak akan adekuat, pendarahan berkepanjangan setelah dilakukan penusukan, atau merasakan nyeri. Stenosis juga membuat akses menjadi tersumbat dan menggumpal. Beberapa penelitian menyebutkan stenosis menyebabkan 78% dari semua kasus kegagalan pembuatan AV Shunt.

“Tidak dapat dipungkiri komplikasi itu bisa saja terjadi walaupun sudah melakukan protokol penanganan untuk tindakan AV Fistula,” kata dr. Djony.

Selain stenosis, permasalahan lainnya adalah terjadinya komplikasi pada saat penusukan awal (kanulasi) akses digunakan. Kanulasi merupakan intervensi memasukan jarum melalui kulit menuju pembuluh darah (AV Shunt) sebagai sarana untuk menghubungankan antara sirkulasi vaskuler dengan mesin hemodialisis. Biasanya akses bisa digunakan 6-8 minggu setelah pembuatan.

Menurut, dr. Djony sebenarnya para perawat hemodialisis telah mendapatkan training ihwal proses kanulasi yang baik. Mereka juga telah mengetahui rule of six untuk pasien dialisis. Rule of six tersebut ialah, enam minggu setelah pembuatan (kanulasi), 6 mm diameter badan fistula, kedalaman tidak lebih dari 0,6 cm.

Laju aliran darah ialah 600 mL/min atau lebih dan panjang fistula harus 6 cm agar dialisis dua jarum bisa dilakukan.

“Kesulitannya semua pasien yang kita hadapi dengan masalah vaskular, ada pasien dengan diabetes perlu untuk melakukan tindakan salvage atau endovaskular dan masih kendala karena cost-nya mahal,” ujarnya.

Di sisi lain, komplikasi akses ini seyogianya bisa diminimalisir jika pasien melakukan kontrol rutin. RSUP Prof Dr R.D Kandou sendiri sudah memiliki layanan fasilitas yang lengkap dan bisa dimanfaatkan oleh para pasien. Namun demikian, dr. Djony mengakui bahwa faktor demografi di Sulawesi Utara yang dikelilingi banyak kepulauan membuat kontrol pasien menjadi terganggu.

“Sehingga banyak masyarakat yang jauh dari daerah dan ini membatasi pasien kontrol pasien,” lanjutnya. Namun demikian, tim dari RSUP Prof Dr R.D Kandou senantiasa akan melakukan yang terbaik untuk merawat AV Shunt pasien jika terjadi kendala.

Pun, pasien juga harus memahami tentang cara perawatan AV Shunt secara mandiri. Edukasi dan kolaborasi antar pelbagai pihak menjadi kunci akses vaskular dapat bertahan lama. “Bahwa pembuatan akses yang secara native diperlukan edukasi yang digalakan lebih baik sehingga pasien sudah disiapkan secara baik sehingga komplikasi penusukan itu bisa kita hindari.”

Perawatan pun bisa dilakukan secara mandiri. Perawatan post operation AV-Shunt bisa dengan meremas bola agar proses mature cimino berjalan dengan baik. Bisa juga dengan jepitan baju dengan cara menjepit berkali-kali dengan tangan yang dipasang akses cimino selama 5 menit dan berulang selama enam kali.

Untuk cimino bagian bawah, pasien bisa menekan jari secara bergantian berulang selama 5 menit berulang 6 kali sehari. Sementara untuk akses cimino yang dipasang pada bagian atas tangan maka bisa berlatih dengan mengangkat beban maksimal tiga kilogram selama 10 menit sebanyak enam kali dalam satu hari.

Untuk perawatan jangka panjang agar cimino pasien tidak terjadi komplikasi dan bertahan lama pada saat kanulasi dimana perawat melakukan penusukan harus dibersihkan bagian ciminonya dan pasien harus cuci tangan.

Disisi lain pasien juga harus menjaga akses cimino-nya dengan cara melakukan Arm Elevation Test (AET). AET dilakukan untuk mengetahui apakah ada sumbatan atau penyempitan pada aliran pembuluh darah yang terpasang cimino.

Senada, Dokter Bedah Vaskular, dr. Billy Karundeng, SpB. Subsp. BVE(K) menjelaskan berdasarkan penelitian di dunia, morbiditas dan mortalitas pasien ginjal kronik bergantung pada akses vaskularnya. Karena sangat pentingnya akses tersebut maka kualitas akses harus dipikirkan sejak screening awal dengan melakukan USG.

Kemudian kanulasi atau penusukan awal juga menjadi situasi krusial karena akan menentukan akses bertahan lama atau tidak. Teknik terbaik dalam penusukan jarum pada saat cuci darah adalah dengan teknik rope ladder dimana lokasi penusukannya berpindah-pindah untuk menghindari pembengkakan pembuluh darah.

“Yang penting adalah komunikasi antara pasien, perawat HD, dan dokternya. Begitu ada masalah langsung dikonsulkan supaya masih bisa diperbaiki. Kalau komunikasinya nggak jalan ya life line-nya nggak akan bagus atau tersumbat,” pungkasnya.

 

Leave a Reply