Menjaga Akses Vaskular untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Ginjal Kronik

KPCDI – Bagi pasien ginjal kronik (PGK), akses vaskular merupakan life of line. Artinya, akses vaskular ialah bagian terpenting untuk menjaga kehidupan pasien karena dengan akses inilah pasien dapat kualitas hidup yang lebih baik.

Berdasarkan pengertiannya, akses vaskular ialah bagian terpenting dari proses tindakan hemodialisis atau cuci darah. Akses vaskular menjadi tempat masuk dan keluarnya darah pasien ke mesin dialisis dan kembali ke tubuh pasien selama melakukan proses hemodialisis. Oleh karenanya, pembuatan dan menjaga akses vaskular merupakan dua poin utama jika life of line ini bisa digunakan secara baik.

Ahli Bedah Vaskular Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin, Aceh, dr. Fachrul Junaidi, SpB., Subsp.BVE(K) menjelaskan setiap daerah maupun rumah sakit memiliki kebijakan masing-masing terhadap pemasangan akses vaskular untuk melakukan hemodialisis. Kebijakan ini bergantung pada kondisi pasien dan dukungan finansial setiap rumah sakit.

Berdasarkan jenisnya, akses vaskular dibedakan menjadi dua yaitu Radiocephalica dan Brachiochepalica. Radiocephalica atau Arteriovenous Shunt (AV Shunt) ialah tindakan bedah untuk menyambungkan (anastomosis) arteri dan vena pada lengan dengan tujuan menjadikan sambungan tersebut sebagai akses hemodialisis.

Sementara itu, Brachiochepalica atau Chateter Double Lumen (CDL) ialah keteter vena yang (pipa/selang) yang dimasukkan ke pembuluh darah vena di leher (jugular) atau pangkal paha (femoral). Biasanya akses ini digunakan untuk pasien ginjal kronik yang kondisinya sangat buruk sehingga diperlukan akses jangka pendek (short term tiga bulan).

Fachrul menjelaskan di RSUDZA, Aceh, data Februari 2022 hingga Mei 2023 mencatat bahwa dari total 117 pasien, sebanyak 108 (92%) pasien menggunakan akses CDL dan sebanyak 9 (8%) orang menggunakan akses AV Shunt.

“Perbandingan jumlah pemasangan CDL tahun 2021 adalah 791 dan pada tahun 2022 sebanyak 488 kasus,” kata dr. Fachrul ketika berbincang bersama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Senin (12/6).

Sementara itu berdasarkan jenis kelamin, kebanyakan pasien yang melakukan hemodialisis ialah laki-laki sebanyak 276 orang dan perempuan sebanyak 240 orang. Sementara data tahun 2021 berdasarkan jenis rawatan dalam satu tahun ialah rawat inap sebanyak 422 dan rawat jalan sebanyak 19 kasus.

Menurut dr. Fachrul, alasan mengapa di Aceh akses vaskular yang dipilih adalah Brachiochepalica atau CDL dikarenakan pasien yang datang dalam kondisi sudah kurang baik sehingga diperlukan tindakan hemodialisis dengan cepat. Pun, pada lengan pasien sudah dilakukan tindakan pemasangan infus—terutama di daerah lengan bawah sehingga didapati akses vena yang sudah rusak.

“Sehingga pada saat kita lakukan tindakan untuk akses vaskular itu kebanyakan sudah tidak bisa digunakan lagi,” ujarnya.

Kemudian, budaya atau sosio kultur masyarakat Aceh sendiri beranggapan bahwa penggunaan Radiochepalica atau AV Shunt posisinya kurang begitu baik karena dianggap menghalangi aktifitas dan bisa dilihat orang lain. Tentu ini menjadi sarana edukasi bersama ke depan karena seyogianya AV Shunt atau Radiochepalica lebih baik jika dibandingkan dengan Brachiochepalica atau CDL.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan hasil riset para pakar, AV Shunt memiliki keuntungan lebih baik untuk akses hemodialisis. Di sisi lain, akses vaskular berupa AV Shunt ini dirancang untuk penggunaan jangka panjang.

Dengan demikian, dr. Fachrul berujar bahwa saat ini pelan-pelan para tenaga medis mulai memberikan edukasi tentang penggunaan AV Shunt sebagai akses hemodialisis demi menurunkan angka penggunaan CDL. Diharapkan, ke depan usaha ini bisa mendapatkan hasil baik dan utamanya mampu memberikan kualitas hidup lebih terjamin bagi pasien.

“Pelayanan di akses hemodialisis itu kalau di bedah vaskular sendiri kita belum mendapatkan komitmen betul-betul bahwa mengurangi penggunaan CDL. Kalau di bedah vaskular sendiri pembuatan AV Shunt itu harus ditingkatkan untuk mengurangi dari komplikasi pemasangan CDL,” kata dr. Fachrul.

Komplikasi AV Shunt

Meskipun memiliki keuntungan dapat digunakan jangka panjang, akses vaskular AV Shunt memang memiliki risiko komplikasi. Komplikasi yang bisa saja terjadi pasca pembedahan ialah hematoma, stenosis, trombosis, infeksi, aneurysma, sindrom ‘steal’ arteri, dan gagal jantung kongestif.

Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah pasien dengan komplikasi AV Shunt yang telah ditangani pada periode Februari 2022 sampai Mei 2023 adalah 73 pasien. Rinciannya, 17 dengan Pseudoaneurisma, 55 dengan Stenosis Draining Vein, dan 1 dengan infeksi luka operasi.

Berikut jenis-jenis infeksi yang dapat terjadi pada AV Shunt:

 1. Hematoma

Hematoma adalah penumpukan darah abnormal di luar pembuluh darah. Kondisi ini terjadi akibat rusaknya pembuluh darah yang menyebabkan darah bocor ke jaringan tubuh lainnya. Kumpulan darah ini bisa terjadi pada bagian tubuh manapun dari yang berukuran kecil hingga besar.

Infeksi hematoma pada akses vaskular di Indonesia memang banyak ditemukan. Adapun penyebab dari hematoma ialah erat kaitannya dengan saat kanulasi atau penusukan awal akses vaskular yang belum membudayakan guiding ultrasonografi (USG). Padahal USG menjadi hal penting jika menghadapi pasien ginjal kronik yang memiliki tubuh gemuk atau memiliki kondisi pembuluh darah tortuous.

Tortuous ialah kondisi terjadi kelainan bentuk pembuluh darah arteri karotis internal berupa pembuluh darah menjadi lebih menekuk dibandingkan normal. Sehingga, jika hanya mengandalkan perabaan normal saja pada saat kanulasi, besar kemungkinan akan terjadi komplikasi.

“Jadi terjadi hematoma dan ini meningkatkan komorbidnya dari pasien itu sendiri dan kita harus pasang selang lagi untuk mengistirahatkan. Jadi ini suatu hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi,” kata dr. Fachrul.

2. Stenosis

Stenosis dapat terjadi akibat hipeplasia intima vena ceplacia distal dari anastomosis pada AV Shunt Radiochepalica sehingga AV Shunt tidak berfungsi. Sedangkan pada penggunaan bahan sintetis ePTFI terjadi stenosis akibat hiperplasi pseudointima atau neointima. Stenosis merupakan faktor penyebab timbulnya trombosis sebesar 85%.

Sebagai contoh, stenosis vena central yang biasanya terjadi pada pasien yang sudah menggunakan akses vaskular lama sehingga membentuk sumbatan di bagian vena central. Pun, penyebab lainnya karena penggunaan selang di satu sisi dengan AV Shunt sehingga memudahkan sumbatan.

Penggunaan penusukan pada satu sisi memang menjadi problem. Di satu sisi pasien akan merasa lebih nyaman karena tidak akan lagi merasakan nyeri. Dari sisi operator atau perawat hemodialisis juga lebih mudah karena tidak perlu melakukan kanulasi ulang. Namun, perlu dipahami jika hal ini tidak diubah maka risiko komplikasinya juga besar.

“Pasien harus diberikan informasi yang baik. Dari sisi sumber daya manusia (perawat hemodialisis) juga diberikan pemahaman memang gampang tinggal tusuk, tapi kemudian risikonya bahaya,” ujarnya.

3. Trombosis

Biasanya trombosis muncul beberapa bulan setelah dilakukannya operasi. Sering diakibatkan karena faktor anatomi atau faktor teknik seperti rendahnya aliran keluar vena, teknik penjahitan yang tidak baik, graft kinking, dan akhirnya disebabkan oleh stenosis pada lokasi anastomosis.

Penanganan trombosis meliputi trombektomi dan revisi secara pembedahan. Trombosis yang diakibatkan penggunaan bahan sintetik dapat diatasi dengan farmakoterapi (heparin, antiplatelet agregasi), trombektomi, angioplasty dan penanganan secara pembedahan.

4. Pseudoaneurisma

Pseudoaneurisma ialah kelainan pembuluh darah yang timbul akibat gangguan pada kontinuitas dinding arteri disebabkan peradangan, trauma, atau penyebab iatrogenic seperti prosedur bedah, biopsi, atau drainase. Komplikasi jenis ini banyak ditemukan pada pasien hemodialisis.

Lagi dan lagi penyebabnya adalah pada saat kanulasi alat hemodialisis menimbulkan trauma draining vein. Biasanya hal ini terjadi pada pasien-pasien dengan kondisi kronis.

5. Masalah Jantung

Perlu diketahui, efek AV Shunt memang memiliki pengaruh pada fungsi jantung. Oleh karenanya, untuk pemeriksaan jantung seharusnya sudah dibuat dalam bentuk standar operasional prosedur (SOP). Sehingga pasien-pasien PGK usia lanjut dan harus menggunakan akses vaskular dan harus melakukan pemeriksaan fungsi jantung bisa tetap terlayani.

“Memang mungkin di tempat saya kelemahannya belum ada sinergi antara bedah vaskular yang bertanggung jawab terhadap akses dengan pelayanan hemodialisis sehingga pendataannya memang diperlukan secara ulang untuk evaluasi terhadap kebijakan selanjutnya,” ujarnya.

6. Sindrom Steal Arteri

Permasalahan komplikasi ini adalah karena kanulasi. Dikatakan sindrom steal arteri jika distal dari ekstremitas yang dilakukan AV Shunt terjadi iskemik. Hal ini disebabkan karena perubahan aliran darah dari arteri melalui anastomosis menuju ke vena yang memiliki resistensi yang rendah ditambah aliran darah yang retrograde dari tangan dan lengan yang mempeberat terjadinya iskemik.

Pasien dengan iskemik ringan akan merasakan parestesia dan teraba dingan distal dari anastomosis tetapi sensorik dan motorik tidak terganggu. “Jadi kanulasinya pada satu sisi tidak ada usaha untuk memperbaiki. Jadi kalau seperti ini akan terjadi komplikasi dan dirujuk ke bedah vaskular untuk diperbaiki.”

Sinkronisasi Stakeholder

Dari sekian banyak komplikasi AV Shunt, kanulasi menjadi penyumbang faktor risiko terbesar. Jika dibiarkan, hal ini akan semakin buruk dan membuat pasien semakin banyak yang akan mengalami komplikasi akses vaskular. Namun demikian, merujuk apa yang terjadi di RSUDZA Aceh, dr. Fachrul melihat hal ini belum menjadi atensi untuk diperbaiki.

Adapun komplikasi ini bisa datang dari dua sisi baik dari pasien dan faktor tenaga medis yang melakukan pembuatan akses vaskular atau kanulasi. Seharusnya, pada saat melakukan kanulasi di akses vaskular dilakukan dengan steril agar tidak terjadi infeksi.

Sayangnya, memang perlu diakui di seluruh fasilitas hemodialusis mungkin penanganannya bisa dikatakan tidak terlampau steril. Musababnya proses ini dilakukan di ruangan terbuka, ramai, dan selalu berganti pasien. Atau mungkin dalam penyediaan alat-alat steril masih kurang.

Oleh karenanya, dibutuhkan awareness dari pihak tenaga medis dan stakeholder terkait dalam melatih diri para perawat hemodialisis dalam melakukan kanulasi. Salah satunya dengan menggunakan guiding USG.

Di sisi lain, perlu dibuatnya SOP dalam penanganan pasien ginjal kronik mulai dari tahap awal, pemasangan akses vaskular, hingga proses hemodialisis. Ego sektoral antar unit kerja (satuan perhimpunan) harus diperbaiki agar proses bisnisnya berjalan dengan baik. Jangan sampai terjadi komplikasi pada pasien karena kesalahan pahaman antar sesama.

Sebagai bahan petimbangan, dr. Fachrul berujar utamanya di RSUDZA seharusnya penggunaan CDL harus dikurangi dan diganti dengan AV Shunt. CDL sendiri biasanya dikerjakan oleh bagian nefrologi dan AV Shunt oleh bedah vaskular. Sehingga belum ada penyelarasan antara wewenang guiding lines antar pihak.

“Bahwa penggunaan CDL itu seharusnya sudah bisa dikurangi karena memang angka infeksi dan mortalitinya tinggi. Jadi harus lebih sesuai dengan SOP dan guidelines yang kita gunakan,” ujarnya.

Adapun penggunaan CDL harusnya diberlakukan untuk jangka pendek atau tiga minggu. Setelah tiga minggu seharusnya CDL dipindah ke AV Shunt tanpa alasan papun. Meskipun AV Shunt lebih mahal namun materialnya yang lebih baik berimplikasi pada kualitas pasien.

Setelah pemasangan AV Shunt, pasien hemodialisis juga harus melakukan kontrol teratur sebulan sekali meskipun tidak ada keluhan untuk dilakukan evaluasi dengan USG. “Jadi penggunaan USG untuk evaluasi ini penting sekali dan tidak hanya secara fisik dan manual aja. Ini salah satu cara saya untuk membantu pasien untuk bisa memelihara akses vaskularnya,” ujarnya.

Di sisi lain, upgrade pengatahuan perawat hemodialisis harus dilakukan. Dimana saat ini masih banyak perawat yang melakukan kanulasi kurang tepat. Pun, perawat juga harus menjaga kebersihan dan luka pasien efek dari kanulasi. Jangan juga menggunakan lengan yang dipasang akses vaskular untuk dilakukan tensi atau penusukan lainnya.

“Harapannya akses hemodialisis bisa dijaga selamanya. Ini sifatnya edukasi tapi komplikasi yang terjadi selama ini adalah dari kita sendiri yaitu pemahaman bagaimana kita menjaga standar septic pada waktu tindakan dan evaluasi. Nah ini yang kadang ada mis komunikasi karena ditempat kita bedah dan hemodialisis masih terkesan jalan masing-masing,” kata dr. Fachrul.

Dalam membuat standar kebijakan pun, dr. Fachrul melihat diperlukan penilaian kualifikasi dan kompetensi yang harus dipahami seksama untuk menentukan siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap tindakan pada PGK. Sehingga pihak yang ditunjuk bisa melakukan diagnosis, melakukan tindakan, dan menangani komplikasi.

Dalam sistem pelayanan di rumah sakit sebenarnya yang memberikan wewenang kompetensi itu bukan kolegium. Kolegium hanya memberikan sertifikat kompetensi tapi yang ACC adalah pihak rumah sakit dengan pelbagai pertimbangan.

“Banyak dokter masuk bilang sudah punya kompetensi karena dengan membawa kolegium. Nah padahal nggak bisa. Akhirnya terjadilah pelayanan yang salah sementara RS tidak tau, atau tidak mau mengecek benar nggak dia berkompeten. Dokter itu juga harus jujur karena ini hubungannya dengan manusia,” kata dr. Fachrul.

Oleh karena itu, dr. Fachrul berharap ke depan akan dibuat SK pelayanan hemodialisis. Artinya dalam menangani PGK yang melakukan cuci darah dibentuk sebuah tim. Dengan catatan jika ada komplikasi, ada yang bisa menangani dan tidak membagi ego masing-masing.

“Karena akses vaskular ada yang lebih berkompeten ya kasih lah mereka. Kalau masalah pemasangan CAPD ada di urologi ya mereka yang kerjakan. Hal-hal itu yang harus dilakukan. Kalau pasien kan dimana mereka diarahkan mereka akan datang,” jelasnya.

Di sisi lain, dr. Fachrul tetap mengajak para pasien untuk melakukan transplantasi ginjal untuk mendapatkan kesehatan yang lebih baik. Namun jika tidak, dr. Fachrul mengajak semua pihak untuk tetap menjaga standar hemodialisis dan tidak menurunkannya. Sehingga diperlukan tim yang sebaik-baiknya bukan ego sentris.

“Ini adalah sebuah pelayanan hemodialisis terpadu yang terdiri dari tim yang ilmunya sudah tinggi sehingga efek kepada pasiennya lebih baik,” tutupnya.

Leave a Reply