Oleh-Oleh dari Organisasi Profesi PERNEFRI

Oleh: Petrus Hariyanto

Awalnya, sewaktu saya usulkan ke Pengurus Pusat Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) lainnya, dan hanya akan meminta pendapat organisasi profesi yaitu Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) perihal reuse tabung dializer sampai 30 kali. Pendapat PERNEFRI akan kita jadikan bahan rujukan untuk bertemu dengan manajemen Rumah Sakit Royal Progress dan juga pihak BPJS Kesehatan, di Sunter, Jakarta Utara.

Sebelumnya, KPCDI sudah menerima surat tindak lanjut pelaporan dari Kepala Grup Kepersertaan dan UPMP4 BPJS Kesehatan Pusat di Jakarta, yang dikirim langsung ke kantor sekretariat Pusat KPCDI, dan pihak BPJS Kesehatan pun menawarkan untuk melakukan mediasi.

Ternyata, hasil pelaporan ini menjadi berkembang. Kami menemukan rumusan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) 812 Tahun 2010. Peraturan Menteri Kesehatan ini mengatur bagaimana syarat mendirikan unit dialisis dan ketentuan dalam menjalankan kegiatan dialisis. Kekuasaan atau otoritas untuk memberi ijin dan melakukan pembinaan serta pengawasan ada pada Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten dan Kota.

Yang cukup menarik ternyata PERNEFRI mempunyai tugas dan tanggung jawab memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Atas rekomendasi merekalah pihak eksekutif baru bisa mengambil kebijakan memberi ijin dalam mendirikan unit hemodialisa, dan juga dapat memberi teguran bila unit hemodialisa tersebut melakukan pelayanan yang merugikan pasien atau dibawah standar mutu pelayanan yang sudah ditetapkan.

Dalam pasal 19 ayat 2 (PMK 812 Tahun 2010), “pembinaan dan pengawasan yang dimaksud, diarahkan untuk melindungi pasien dalam penyelenggaraan pelayanan dialisis yang dilakukan tenaga kesehatan, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan dialisis sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran”.

Pada akhirnya, delapan Pengurus Pusat KPCDI pada tanggal 30 September 2016, diterima Pengurus Pusat  PERNEFRI di kantor sekretariat, di Jakarta, antara lain:

  1. Prof. Dr. Endang Susalit, SpPD-KGH (Penasehat PERNEFRI)
  2. Dr. Dharmeizar, SpPD-KGH (Ketua Umum PERNEFRI)
  3. Dr. Ginova Nainggolan, SpPD-KGH (Sekretaris PERNEFRI)
  4. Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD-KGH (Kordinator PERNEFRI untuk Wilayah DKI Jakarta)

Sebagai juru bicara KPCDI, Tony Samosir memberi laporan bahwa Rumah Sakit Royal Progress melakukan kebijakan reuse tabung dializer sebanyak 30 kali. “Ini dapat merugikan pasien karena berdampak pada pencapaian target adekuasi. Jika target adekuasi tidak tercapai maka pasien juga akan mengalami uremia, mual, muntah, dan sampai kehilangan selera makan.” ujar Tony mengawali pembicaraan.

Ditambahkan oleh Petrus, bahwa ada itikad “tidak baik” dari Rumah Sakit Royal Progress terhadap kebijakan ini. Ketika isu ini mencuat ke permukaan, Rumah Sakit Royal Progress memaksa pasiennya untuk menandatangani persetujuan reuse sebanyak 30 kali. “Mereka juga tidak pernah melakukan pemeriksaan atau uji laboratorium sebelum dan sesudah hemodialisis untuk mengetahui kadar ureum dan kreatinin dalam darah si pasien, apakah sudah tercapai adekuasi atau belum. Jadi klaim sepihak kalau reuse 30 kali sudah mencapai nilai klinis URR (Urea Reduction Ratio) dan aman serta efektif untuk pasien dialisis,” jelas Sekjen KPCDI.

Tony meminta pendapat PERNEFRI, Apakah organisasi profesi tersebut mempunyai pedoman tertulis berapa banyak reuse diperbolehkan?

Awalnya PERNEFRI menjawab pada wilayah abu-abu. Bahwa reuse diperbolehkan asal mencapai target nilai URR. Mereka juga berangapan tidak ada yang perlu dipersoalkan di Rumah Sakit Royal Progress, karena data pasien URR nya mencapai 65 persen.

Tetapi betapa terkejutnya para Pengurus PERNEFRI , ketika salah satu pasien dari RS Royal Progress memberi hasil tes laboratorium, yang ternyata hasil URR si pasien tidak mencapai 60 persen.

“Kami meminta  KPCDI mengirim data tentang itu semua, termasuk bukti pemaksaan tanda tangan menyetujui reuse 30 kali,”. Ujar Dr. Dharmeizar, SpPD-KGH, Ketua PERNEFRI.

Bahkan dokter Dharmeizar mengungkapkan bahwa pada tahun 2010 PERNEFRI sudah membuat surat rekomendasi kepada Asuransi Kesehatan (ASKES) yang saat ini sudah berganti nama menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), bahwa penggunaan reuse tabung dializer disarankan maksimal delapan kali, adapun reuse 10 kali pada saat itu hanya dikarenakan biaya yang sangat kecil dan itu pun keuntungan dari reuse harus dikembalikan lagi untuk kepentingan pasien, seperti uji klinis, laboratorium dan obat-obatan. Surat rekomendasi itu masih berlaku sampai hari ini dan menjadi pedoman bagi penyelenggaraan unit pelayanan hemodialisa.

Tony Samosir meminta agar PERNEFRI aktif menjalankan fungsinya untuk selalu memberikan rekomendasi kepada Dinas Kesehatan dalam hal pengawasan dan teguran kepada penyelenggara unit hemodialisa yang merugikan pasien dan mutu pelayanannya dibawah standar. “Dari data yang kami himpun Jakarta yang paling banyak bermasalah,” ungkapnya.

Dr. Tunggul D Situmorang, SpPD-KGH, sebagai Korwil DKI Jakarta, langsung menanggapi statement Tony. “Kami sangat konsen terhadap permasalahan ini. Kami berterima kasih kepada KPCDI yang mau datang dan beraudiensi ke sini. Dan baru sekali ini ada pasien yang mengadu,” ucapnya.

Bagi dokter Konsulen Ginjal dan Hipertensi (KGH) yang berpraktek di Rumah Sakit Cikini ini, PERNEFRI punya keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mampu mengawasi unit penyelenggara dialisis. Tapi beliau berjanji akan rutin memberi surat rekomendasi kepada Dinas Kesehatan Propinsi DKI.

 

Belajar Dari Sini

Pembelajaran apa yang bisa kita dapat dari momentum pertemuan dengan PERNEFRI ini?

Bagi saya, aturan dalam Permenkes 812 Tahun 2010 tidak dijalankan dengan baik dan maksimal oleh Kementerian dan Dinas Kesehatan. Saya juga meragukan PERNEFRI memberi masukan dan rekomendasi secara maksimal ke pihak eksekutif.

Bukan saja karena kelalaian mereka, tapi juga karena andil kita sebagai pasien yang kurang memberi dorongan ke mereka. Baru kali ini PERNEFRI kedatangan para pasien cuci darah. Dan mereka berterima kasih karena hal ini dapat menjadi faktor penyemangat. Di daerah-daerah dipastikan kondisinya kurang lebih sama. Para pasien cuci darah tidak punya keperdulian terhadap persoalan ini.

KPCDI ingin mendorong agar pasien cuci darah bisa peduli. Agar dapat mengawasi Dinas Kesehatan setempat dan juga PERNEFRI, tidak ada jalan lain selain kehadiran organisasi KPCDI di daerah.

Mari anggota KPCDI segera mempersiapkan pembentukan cabang. Dengan adanya pengurus cabang, memungkinkan KPCDI bisa berperan dalam hal ini. Dan dengan pendirian pengurus cabang banyak program lain bisa dijalankan.

Menjelang Senja di Ciganjur, Jakarta, 2 Oktober 2016

Penulis: Petrus Hariyanto

Leave a Reply