[SIARAN PERS] Pemerintah Tidak Mau Bayar Kompensasi Korban Penyakit Ginjal Akibat Konsumsi Sirop Beracun
KPCDI – Proses sidang mediasi kasus gagal ginjal akut pada anak yang disebabkan setelah mengkonsumsi obat sirop beracun menemui titik buntu. Dalam dua kali sidang mediasi di Pengadilan Jakarta Selatan, Rabu (21/6), pihak tergugat kompak menyampaikan tidak memiliki kewenangan untuk membayarkan uang kompensasi terhadap korban pasien anak yang menderita penyakit ginjal akut.
Adapun pihak tergugat dalam perkara ini adalah Kementerian Kesehatan (tergugat 1), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (tergugat II), PT Afi Farma (tergugat III), dan Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo (tergugat IV). Juga turut tergugat Kemenkes Cq Rumah Sakit Anak Dan Bunda Harapan Kita (turut tergugat I). Kepala Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Cq Rumah Sakit Bhayangkara Tk I R.Said Sukanto (turut tergugat II), Kementerian Keuangan (turut tergugat III).
Penasihat Hukum Penggugat, Rusdianto Matulatuwa. SH., MH menjelaskan dalam sidang mediasi, penggugat (Eko Rachmat Saputro, orang tua korban Raina Rahmawati (19 bulan)) meminta pihak tergugat untuk memberikan bantuan uang sejumlah Rp4,9 juta per-bulan. Selain itu dalam petitum gugatannya, korban juga meminta uang kompensasi dari biaya yang ditimbulkan di luar ketentuan BPJS Kesehatan.
“Seperti obat yang tidak tercover dengan BPJS dan di luar anggaran. Intinya adalah anggaran yang menunjang kesehatan korban anak gagal ginjal untuk hidup lebih baik,” kata Rusdianto di Jakarta, Kamis (22/6).
Nominal uang yang diminta ini nantinya akan dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan pengobatan korban. Misalnya, uang tersebut akan dibelikan kebutuhan kesehatan anak seperti pembelian kasa steril, obat-obatan, dan biaya akomodasi ke rumah sakit sebanyak 2-3 kali dalam rangka melakukan proses penyembuhan akibat dari komplikasi tindakan hemodialisis atau cuci darah rutin.
BACA JUGA: Sidang Perdana Kasus Gagal Ginjal Misterius, Saatnya Beri Keadilan bagi Seluruh Korban
Gagalnya mediasi ini menurut Rusdianto memperlihatkan secara gamblang bagaimana negara abai dan tidak mau bertanggung jawab dalam kasus gagal ginjal akut pada anak. Padahal, peredaran obat sirup beracun yang menyebabkan banyak anak-anak Indonesia mengalami gagal ginjal—bahkan kehilangan nyawa—tidak lepas dari kelalaian yang dilakukan para tergugat.
“Sebagai contoh, peredaran obat-obatan tersebut ditangani langsung oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Hal ini diperkuat dengan argumentasi Komnas HAM yang telah mengeluarkan rekomendasi yang menyebutkan terjadi kelalaian dari Kementerian Kesehatan dan BPOM dalam kasus ini. Oleh karena itu, Rusdianto berharap Majelis Hakim akan memberikan putusan yang adil bagi korban dan pihak keluarga.
Berdasarkan hasil rekomendasi tersebut semakin menegaskan bahwa posisi negara harus dan sudah sepatutnya memberikan perlindungan dan kenyaman bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, negara harus bertanggungjawab bagi seluruh korban dan penderita gagal ginjal anak yang saat ini terus berjuang meningkatkan kualitas hidupnya.
“Namun ketika itu diajukan sepertinya semakin menegaskan di negeri ini bahwa orang miskin di larang sakit. Akhirnya persoalan uang Rp4,9 juta ini yang bisa menyelamatkan kehidupan nyawa anak manusia menjadi terabaikan hanya gara-gara persoalan birokrasi,” ujarnya.
Perlu diketahui, penyakit ginjal akut bukanlah penyakit sembarangan dan dapat memberikan dampak yang sangat luas. Jika pengobatan yang dilakukan tidak teratur maka ancaman kehilangan nyawa adalah hal yang harus dihadapi.
Di sisi lain, kebanyakan kasus ginjal akibat konsumsi sirop adalah anak-anak belia yang seyogianya masih memiliki hidup panjang dan menjadi harapan keluarga. Akibat penyakit ini, bisa dipastikan bahwa masa depan anak-anak akan terancam karena harus fokus pada pengobatan. Pun, sebagai orang tua juga akan memiliki batasan aktifitas karena harus menjaga anak di rumah.
“Nominal uang Rp4,9 itu bukan seumur hidup tapi sampai mereka dinyatakan sembuh saja. Karena mereka tidak punya penghasilan apa-apa lagi. Anak-anak ini masa depannya sangat terancam dengan penyakit ini,” ujarnya.
“Orang tuanya mengalami kendala dalam bekerja karena tidak bisa meninggalkan anaknya dalam waktu yang lama, suaminya tidak bisa meninggalkan istrinya sendiri karena untuk pengobatan penyakit ginjal itu harus ada yang dilakukan secara berkala,” tutupnya.
Narahubung:
Eko Rachmat Saputro (Orang Tua Korban): 0877-8531-8880
Rusdianto Matulatuwa, SH.,MH (Penasehat Hukum): 0811-148-650