[SIARAN PERS] Lebih Murah dan Berkualitas, Kenapa Dialisis Mandiri Bagi Pasien Gagal Ginjal Kalah Populer dari Hemodialisis?

Jakarta, 13 Maret 2025. Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir, mendorong pemerintah Indonesia untuk menjadikan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis mandiri sebagai pilihan utama terapi pengganti fungsi ginjal, selain transplantasi ginjal, dibandingkan dengan Hemodialisis (HD). Pasalnya, CAPD memberikan kualitas hidup yang lebih baik serta lebih efisien secara biaya bagi pasien ginjal kronik.

“Dalam tiga tahun pertama, CAPD memiliki banyak keuntungan salah satunya mampu memberikan kualitas hidup pasien yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kualitas hidup pasien HD,” kata Tony dalam peringatan World Kidney Day (WKD) 2025 di Jakarta, Kamis (13/3).

Pada tahun ini, WKD–yang diperingati setiap hari Kamis minggu ke dua di bulan Maret—mengambil tema ‘Apakah Ginjal Anda Baik-Baik Saja? Deteksi Dini, Lindungi Kesehatan Ginjal’. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan ginjal serta mendorong deteksi dini penyakit ginjal.

Lebih lanjut, meskipun memiliki manfaat yang lebih baik, Tony memandang implementasi penggunaan terapi CAPD di Indonesia masih jauh dari kata optimal dan tidak populer. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, tahun 2024 jumlah peserta HD rutin yang mendapatkan penjaminan sebanyak 134.057 dan CAPD hanya 3.085 peserta.

Besarnya gap antara kedua terapi pengganti fungsi ginjal ini menurut Tony disebabkan banyak hal. Menurutnya, faktor utama tidak populernya CAPD adalah masalah keuangan yang dianggap oleh sebagian besar rumah sakit tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan HD. Hal inilah yang membuat rumah sakit akan memberikan rekomendasi HD kepada pasien pada kesempatan pertama.

Padahal jika dikalkulasikan, anggaran yang dibutuhkan dalam satu tahun untuk pasien CAPD jauh lebih murah 10%-15% jika dibandingkan dengan pasien HD. Tentunya, jika angka terapi CAPD ditingkatkan dapat menjadikan pembiayaan dialisis lebih cost efektif, yang selama ini ditekankan oleh BPJS Kesehatan sebagai regulator penjamin kesehatan nasional.

Data BPJS Kesehatan 2024 memperlihatkan, biaya pelayanan kesehatan gagal ginjal kronik terus meningkat setiap tahunnya dan menyentuh angka Rp11 Triliun. Dari total tersebut, hampir mayoritas anggaran digunakan untuk terapi HD pasien yang biasanya minimal dilakukan dua kali dalam seminggu atau delapan kali dalam satu bulan untuk mendapatkan adekuat.

Di sisi lain, minimnya penggunaan CAPD di Indonesia terjadi karena kelangkaan fasilitas kesehatan yang melayani CAPD dan penyebarannya tidak merata di Indonesia, selain itu juga kurangnya tenaga kesehatan terampil untuk CAPD. Pun, berdasarkan pengalaman KPCDI terdapat anggota di wilayah timur Indonesia seringkali terlambat mendapatkan kiriman cairan dialisat karena faktor biaya transportasi yang mahal. Dari sisi edukasi, pemahaman CAPD bagi pasien ginjal kronik di Indonesia masih sangat minim. Kegiatan promotif, preventif, dan kuratif seyogianya harus ditingkatkan oleh pemerintah agar seluruh pasien ginjal mendapatkan akses edukasi terhadap terapi CAPD.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, pada dasarnya seluruh pasien ginjal kronik bisa melakukan terapi CAPD. Mereka yang berhak ialah dengan kategori mulai dari anak-anak, dewasa, pasien dengan akses vaskuler yang sulit, memiliki kontra indikasi untuk pemberian antikoagulan, kardiovaskuler tidak stabil, hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit kronis (HIV, kelainan pendarahan, hepatitis B), lokasi unit HD yang jauh, dan gaya hidup yang aktif.

Adapun keuntungan yang didapatkan pasien jika menggunakan terapi CAPD ialah dialisis terjadi secara kontinyu, dimana prosesnya alamiah dengan melakukan pembersihan darah secara kontinyu tidak intermiten, dapat dilakukan secara mandiri sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain, mudah dipelajari dan melakukannya sederhana cukup dengan hanya latihan 1-2 minggu saja.

Juga mengurangi restriksi diet dan cairan yang ketat, tidak memerlukan penusukan jarum, tidak menghalangi pasien bila ingin melakukan perjalanan atau aktifitas, beban kardiovaskuler minimal, portabel atau bisa dimana saja, mempertahankan fungsi ginjal sisa lebih baik, dapat mengontrol tekanan darah dan volume cairan lebih baik sehingga bermanfaat terhadap kardiovaskuler, dan memiliki kualitas hidup lebih baik.

Narahubung:
1.⁠ ⁠Ketua Umum KPCDI: Tony Richard Samosir (0813-8050-2058)
2.⁠ ⁠Sekretaris Jenderal KPCDI: Petrus Hariyanto (0813-1063-9319)

Leave a Reply