Demi Bersekolah, Imel Terus Berjuang Untuk Melawan Penyakit Ginjal
KPCDI – Bagi Nia Kurnia tahun 2017 ialah tahun yang paling tidak menyenangkan dalam hidupnya. Bagaimana tidak, kala itu anak sulung tercintanya Imel Pebriani dinyatakan mengidap penyakit hipertensi. Yang lebih mengejutkan lagi, dokter memvonis anaknya menderita kebocoran ginjal akibat terlampau sering memakan seblak dan minuman dalam kemasan yang beredar di pasaran. Selain diare, seblak juga berpotensi menyebabkan tekanan darah tinggi akibat kelebihan sodium dan karbohidrat jika dikonsumsi secara berlebihan.
“Imel itu kalau pulang sekolah disuruh makan nggak mau. Dia minta uang saja buat makan seblak,” cerita Nia kepada Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Senin (29/11).
Kondisi Imel yang kian memburuk memaksa ia harus mendapatkan perawatan intensif. Kala itu Imel dirawat selama 20 hari di Rumah Sakit Umum Cideres, Majalengka. Dalam perawatan tersebut bukannya membaik berat badan Imel kian membengkak dan berdasarkan serangkaian pengecekan oleh dokter kadar tekanan darah Imel mencapai 200/150.
Melihat situasi kian memburuk, Imel lantas menjalankan tes urin dua hari satu kali. Dari hasil tes urin tersebut bisa dipastikan ginjal Imel telah rusak parah sehingga harus dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung (RSHS), Jawa Barat karena di RSUD Cideres tidak memiliki alat yang begitu lengkap.
Tidak pikir panjang, Nia bersama sang suami lantas membawa Imel ke RSUP dr. Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Pikirannya kalut menerawang awan. Malam begitu pekat hingga ia lupa bahwa kondisi ekonominya sedang tidak baik-baik saja. Ia hanyalah buruh cuci dan setrika, dan sang suami bekerja serabutan mulai dari kuli bangunan, pembuat kue simping, hingga buruh garap tani—itupun tidak menentu.
“Satu hari paling dapat Rp30 ribu dan hanya cukup buat makan dan jajan anak,” ujarnya.
Akan tetapi kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah Nia membawa Imel ke Bandung. Ia rela utang sana-sini, dari satu tetangga ke tetangga lainnya, dari saudara satu ke saudara lainnya. Entah bagaimana caranya ia harus memiliki uang dan memikirkan cara mengembalikannya di kemudian hari. Terpenting Imel harus segera mendapatkan penanganan maksimal agar ia bisa kembali ceria.
Sesampainya di Bandung Nia harus menyewa sebuah kontrakan yang satu malam dihargai Rp100 ribu. Berat memang. Tapi tak ada pilihan lain. Kalaupun ada ia memilih tidur di depan gedung rumah sakit kala uang untuk sewa kontrakan sudah habis. Apalagi pengobatan Imel tidak semuanya dicover oleh BPJS Kesehatan.
“Kadang ayahnya pulang ke kampung bekerja agar mendapatkan uang bagi saya dan Imel di Bandung,” ujarnya lirih. “Nah untuk pengobatan itu kan ada aja yang nggak dicover BPJS akhirnya saya harus pinjam utang dulu sama tetangga sama saudara karena sekali cek bisa Rp1,5 juta.”
Masuk ke RSHS dokter berujar bahwa Imel harus segera di kemoterapi. Sayangnya tujuh bulan lamanya di kemoterapi kondisi Imel tidak membaik. Menurut dokter kadar protein Imel masih menyentuh angka 4. Karena tidak mengalami perbaikan Imel pun dirujuk pulang.
Hingga akhirnya pada 2019, Imel mulai merasakan linu-linu di sekujur tubuhnya. Nia pun kembali membawa Imel ke RSUD Cideres dan dokter mendiagnosis proses linu-linu di tubuh Imel karena ia dalam kondisi menuju penyakit autoimun atau lupus! Bagai disambar geledek tapi itulah kenyataan yang harus Nia dengar. Air matanya bercucuran dan entah tidak tahu harus berbuat apa.
Kala itu dokter menyarankan agar Imel kontrol kembali ke rumah sakit pada Oktober. Akan tetapi belum sampai Oktober, kondisi Imel sudah menurun drastis. Yang memilukan Imel mengalami pendarahan dari hidungnya. Karena kaget, Nia kembali membawa Imel ke RSUD Cideres akan tetapi rumah sakit tersebut tidak bisa menangani Imel dan ia harus segera dirujuk kembali ke RSHS.
Setelah sampai Imel langsung masuk ke ruang IGD. Saat ditangani sekujur tubuh Imel timbul ruam-ruam atau kemerahan dan benjolan. 20 hari menjalani perawatan dokter kulit memastikan bahwa Imel mengalami positif lupus.
“Nah Imel harus dirawat selama tiga bulan bahkan ia sering kejang-kejang dua jam sekali, perutnya kaya busung kaya orang hamil,” ujarnya. Tiga bulan dirawat kondisi Imel kian memburuk dan dokter menyatakan Imel mengalami hipertensi level empat dan gagal ginjal level lima dan harus segera cuci darah.
“Saya kaget harus cuci darah dan tidak menerima kalau anak harus cuci darah atau CAPD,” ujarnya. Akan tetapi berkat obat-obatan dan cuci darah kondisi Imel kian membaik. Hipertensinya dari 230/150 bisa turun hingga 190 dan ia bisa dirujuk kembali ke Majalengka setelah tiga bulan di Bandung.
Sayangnya rumah sakit di Majalengka menolak Imel untuk cuci darah karena ia masih anak-anak. Sampai rumah sakit di daerah Cirebon kala itu belum memiliki fasilitas cuci darah untuk anak-anak dan Imel harus kembali ke Bandung.
“Habis itu satu tahun Imel di RSHS sambil kontrol dan menunggu di daerah (Majalengka) ada yang mau nerima Imel cuci darah,” ujarnya. Dengan keterbatasan biaya dan untuk bertahan hidup, orang tua Imel hidup di rumah singgah.
Satu tahun berlalu dan akhirnya Imel bisa melakukan cuci darah di kampung halaman. Akan tetapi masalah baru muncul karena di rumah sakit tersebut penyakit lupus Imel tidak bisa dikontrol. Kendala ekonomi dan pandemi covid-19 membuat Nia tidak bisa membawa Imel ke Bandung untuk menyembuhkan penyakit lupusnya.
“Nah pas sudah memar-memar kemarin badannya ada linu-linu saya terpaksa buat pinjem lagi uang dan kata dokter ini autoimun nggak boleh lepas kontrol, tapi ya gimana saya terkendala biaya,” jelasnya.
Semangat Bersekolah
Di tengah perjuangannya ingin sembuh menurut Nia, Imel memiliki satu keinginan kuat. Imel ingin sekali kembali bersekolah, berkumpul dengan teman-temannya dan kembali ceria. Akan tetapi pihak sekolah menyarankan Imel untuk berfokus pada penyembuhannya terlebih dahulu—apalagi akibat penyakit tersebut kondisi pendengaran Imel pun tidak baik.
“Tapi Imel pas pulang ini semangat pengen sekolah biar cuci darah seminggu dua kali tapi tetep pengen sekolah. Cuma Kepseknya nyaranin buat Imel fokus pengobatan dan diminta buat kejar paket nantinya,” ujarnya.
Menurut Nia kondisi tersebut membuat Imel patah semangat. Akan tetapi dengan keinginannya yang kuat untuk kembali bersekolah Nia dan Imel sama-sama yakin bahwa kelak Imel akan sembuh dan kembali bersekolah seperti anak-anak lainnya. Entah bagaimanapun caranya Nia berserah kepada Allah SWT dan dalam sujudnya ia selalu menghaturkan doa demi kesembuhan putrinya. (ATR)
Yuk dukung terus DUKUNG ANAK IMEL agar bisa sembuh dan kembali bersekolah dengan berdonasi pada campaign kami di KITABISA.COM