[SIARAN PERS] Pencegahan Hepatitis pada Pasien Gagal Ginjal Belum Optimal
KPCDI – Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mencatat sebanyak 45% pasien ginjal kronis yang menjalani terapi cuci darah telah terinfeksi dengan virus Hepatitis C. Hal itu diketahui melalui survei KPCDI yang dilakukan tahun 2018 dengan melibatkan 200 orang responden.
Data tersebut diperkuat dengan catatan Kementerian Kesehatan yang menunjukan pasien cuci darah masuk dalam kelompok berisiko tinggi terpapar Hepatitis. Prevalensinya mencapai 11 % dan menjadi nomor dua tertinggi setelah kasus hepatitis akibat penggunaan narkoba suntik (22%).
Atas dasar itu, Ketua KPCDI Tony Richard Samosir, memandang perlunya pencegahan paparan hepatitis yang lebih ketat bagi pasien cuci darah. Selain pengawasan higienitas alat-alat medis yang digunakan di rumah sakit, pencegahan penyakit hepatitis seperti mengurangi tindakan transfusi darah dan lebih mengutamakan terapi hormon erythropoietin (EPO) bagi pasien gagal ginjal.
“Meskipun tidak ada vaksin untuk Hepatitis C, sudah seharusnya pasien dialisis Indonesia diwajibkan mendapat vaksinasi untuk Hepatitis B sebelum mereka menjalani hemodialisis,” kata Tony dalam webinar bertajuk ‘Hepatitis dan Penyakit Ginjal Kronik’, Minggu (8/8).
Merespon fakta tersebut, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kemenko PMK, Agus Suprapto, mengakui bahwa Hepatitis adalah salah-satu penyakit yang hingga kini masih menjadi momok kesehatan di Indonesia. Menurutnya, pasien cuci darah menjadi semakin rentan di masa pandemi saat ini.
Untuk itu, Agus menilai diperlukan peningkatan upaya preventif pada tataran pelayanan kesehatan agar bisa menekan potensi penularan Hepatitis tersebut. Salah-satu penekanannya yaitu pada peningkatan tatalaksana yang baik pada pasien cuci darah.
“Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani dialisis saya kira cukup rentan saat ini, dengan beban rumah sakit yang luar biasa dalam menghadapi covid-19. Kami sangat berharap rekan-rekan yang di pelayanan lapangan menjadi lebih baik lagi, supaya kelompok risiko ini bisa tetap terlindungi dengan baik,” ucap Agus.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Direktorat Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Azhar Jaya mengatakan bahwa hingga saat ini baik Kemenkes selaku pembuat kebijakan maupun BPJS Kesehatan selaku penanggungjawab layanan, masih terbatas dalam ketersediaan anggaran. Akibatnya, tingkat pelayanan pun masih belum ideal.
Namun, Kemenkes menyatakan siap berdiskusi lebih lanjut dengan stakeholder terkait persoalan ini. Harapannya, ke depan ada penganggaran yang lebih baik untuk bidang kesehatan di Indonesia.
“Pemerintah selalu berupaya memberikan pelayanan bagi pasien cuci darah, di mana saat ini anggaran penyakit ginjal harus didiskusikan lebih lanjut dengan parlemen,” kata Azhar.
Senada, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan siap untuk membuka ruang diskusi selebar-lebarnya di parlemen terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara umum, serta layanan bagi pasien cuci darah secara lebih spesifik.
Ia mengatakan, di masa pandemi ini, pasien penyakit ginjal kronik berpotensi besar sekali terpapar penyakit di ruang hemodialisa, dan salah-satunya yakni hepatitis. Karena itu ia mendorong berbagai pihak berupaya membentuk skema penanganan yang lebih ketat untuk meminimalisir resiko tersebut.
“Hal ini menjadi perhatian kita kedepan untuk menjadi lini utama dalam pengobatan yang optimal, harga yang terjangkau dan risiko yang kecil,” pungkasnya. (Ads)