Penyakit Hepatitis, Pembunuh Senyap yang Perlu Diwaspadai Pasien Hemodialisis

KPCDI – Pasien penyakit ginjal kronik (PGK) memiliki risiko tinggi terinfeksi virus Hepatitis C. Pasalnya, prosedur hemodialisis (HD) yang rutin dijalani pasien gagal ginjal membuat tingkat paparan darah pasien dengan benda-benda lain di luar tubuh sangat tinggi.

Sebagian besar pasien gagal ginjal yang terinfeksi hepatitis terinfeksi dari prosedur HD. Mulai dari terpapar virus dari alat dialiser yang kurang higienis, hingga tatalaksana di unit HD yang kurang ketat sehingga menimbulkan celah paparan virus.

Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), Dr. dr. Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM menjelaskan, infeksi Hepatitis akan berdampak buruk bagi pasien gagal ginjal. Virus ini akan memperparah progresi kerusakan ginjal.

Selain itu, Hepatitis bisa berujung pada komplikasi organ lainnya, terutama hati. Komplikasi mulai dari radang atau sirosis hingga kanker hati yang bisa berujung kematian.

“Hepatitis kronik kita khawatirkan dapat berlanjut menjadi kondisi yang lebih buruk, yaitu sirosis hati. Di Indonesia, 70% sirosis disebabkan Hepatitis B dan Hepatitis C,” ungkap dr. Irsan dalam webinar awam seputar risiko Hepatitis pada pasien hemodialisis yang digelar oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Minggu (08/8).

Ia menjelaskan, yang berbahaya dari sirosis hati yaitu umumnya komplikasi ini tidak bergejala. Hal itu membuat banyak pasien tidak mengalami gejala klinis dan tidak menyadari kehadiran komplikasi hati tersebut.

Namun ketika kondisi itu berlanjut, sirosis bisa memicu berbagai masalah klinis. Di antaranya terjadinya penumpukan cairan di perut, muntah darah, gangguan kesadaran, hingga kanker hati. Ketika sampai di level ini, maka Hepatitis sampai pada tahap menimbulkan komplikasi kronis.

“Jadi untuk penyakit liver ini umumnya adalah pasien tidak menyadari. Karenanya, 75-56% Heptitis akan menjadi kronik,” jelas dr. Irsan.

Hepatitis C hingga kini belum ada vaksinnya. Karena itu pengobatan Hepatitis masih mengandalkan intervensi obat-obatan maupun cairan. Jenis obat yang umumnya digunakan untuk mengendalikan keganasan virus Hepatitis C di Indonesia yaitu Direct Acting Antivirals atau DAA. Obat ini bekerja dengan menghambat replikasi virus.

“Angka kesembuhan dengan menggunakan terapi DAA, yaitu 87-98 %, itu obat oral, dengan efek samping yang rendah, dan masa terapinya pun pendek,” jelas dr. Irsan.

Ia melanjutkan, sebagian besar komplikasi Hepatitis C pada pasien gagal ginjal di Indonesia bisa tertangani, dan pasien bisa pulih. Namun, penanganan itu harus dilakukan sedini mungkin, agar komplikasi tidak berkembang ke arah kronis atau bahkan gagal hati.

Karena itulah, penting bagi pasien cuci darah untuk menjalani pemeriksaan Hepatitis secara berkala. Screening Hepatitis harus dilakukan ketika awal pasien baru akan memulai cuci darah di unit HD. Pemeriksaan ini idealnya dilakukan secara periodik, setiap 6 bulan sekali. Pemeriksaan harus dilakukan terhadap pasien maupun tenaga kesehatan yang bertugas di unit dialisis tersebut.

Di luar itu, vaksinasi juga sangat diperlukan, yaitu vaksinasi Hepatitis B. Meski data menunjukkan bahwa prevalensi pasien cuci darah terpapar Hepatitis B dari unit dialisis cukup kecil dibandingkan Hepatitis C, namun vaksinasi tetap diperlukan. Hal itu mengingat tingginya paparan produk darah pasien gagal ginjal dalam menjalani cuci darah di unit HD. (Ads)

 

Leave a Reply