Perjuangan Tiada Akhir Rosidah Melawan Kanker dan Gagal Ginjal
KPCDI – Matahari belum sempat melukis cakrawala ketika sepeda motor yang membawa Siti Rosidah melewati kawasan elite Bumi Serpong Damai (BSD City) pada Rabu (26/5). Di bawah sinar lampu penerangan, tubuh Rosidah yang hanya seberat 30 kilogram harus diikat dengan seutas kain batik ke tubuh suaminya–Achmad Maulana.
“Supaya saya tidak jatuh jadi harus diikat,” cerita Rosidah kepada Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Minggu (23/5).
Hari itu, Rosidah akan melakukan perjalanan sejauh 38 kilometer dari rumahnya di Cisauk, Tangerang, menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta Pusat untuk melakukan terapi cuci darah. Ia memang harus pergi sedini mungkin agar tidak merasakan kemacetan di perjalanan. Musababnya, jika ia sampai terjebak macet, tubuhnya akan semakin lemas.
Rutinitas itu sudah Rosidah jalani sejak pertama kali divonis menderita gagal ginjal kronis pada tahun 2008. Setidaknya dalam seminggu, Rosidah harus ke RSCM untuk cuci darah minimal dua kali yaitu pada hari Rabu dan Sabtu.
Rosidah divonis menderita penyakit ginjal setelah memilih mempertahankan janinnya yang saat itu berusia 16 minggu. Kala itu, perawat meminta Rosidah menggugurkan kandungannya karena dirinya mengidap hipertensi atau darah tinggi. Akan tetapi Rosidah merasa menggugurkan bukan jalan yang benar.
“Nggak mungkin aku lakukan. Allah sudah memberikan kepercayaan kepada saya, kenapa saya harus menggugurkannya?” Jelasnya.
Apalagi dalam agama Islam, saat usia kandungan memasuki usia 16 minggu, pada saat itulah Allah sedang meniupkan nyawa bagi janin yang sedang ia kandung. Rosidah–memilih mati daripada harus menggugurkan janinnya. Apalagi ini adalah anak pertama dari buah cintanya bersama suami.
Perlu diketahui, hipertensi adalah salah satu penyakit mematikan yang setelahnya bisa menyebabkan gagal ginjal. Sampai pada akhirnya Rosidah tidak kuat. Saat kandungan memasuki usia 25 minggu dokter menyatakan Rosidah harus menjalani proses cuci darah karena kerusakan ginjalnya semakin parah.
Seminggu dirawat, dokter menyatakan bayi Rosidah meninggal karena keracunan heparin akibat proses cuci darah dan harus segera melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan bayi tersebut. Akan tetapi di luar dugaan, bayi tersebut lahir dengan sehat dan bisa bernafas–meskipun harus mendapatkan perawatan intensif.
“Bayi itu aku beri nama Sabilan Muzaira,” kenangnya.
Sejak hari itu, kesehatan Rosidah terus menurun. Rosidah benar-benar sudah kehilangan fungsi ginjalnya. Bahkan Rosidah sampai harus terus berbaring di kasur karena sudah tidak ada lagi yang menopang tubuhnya. Hal yang menjadi lebih buruk disaat yang sama, Rosidah mengidap kanker paratiroid pada tahun 2014.
Kanker Paratiroid sendiri adalah sejenis kanker langka yang biasanya menyerang salah satu dari empat kelenjar paratiroid. Mulut Rosidah membengkak seperti disumpal bola tenis. Ia tidak lagi bisa berbicara, menelan makanan, dan pada akhirnya mengalami kelumpuhan.
Akan tetapi, Rosidah tidak patah semangat. Dibenaknya, Sabilah masih butuh sosok ibu dalam perkembangannya sebagai manusia. Atas dasar itu, ia bersemangat menjalani terapi cuci darah dan operasi pengangkatan kanker paratiroidnya. Semua itu ia lakukan demi anaknya–Sabilah.
Meskipun hidup di tengah kesulitan, Rosidah dan suaminya tidak pernah mengeluh pada keadaan. Setiap hari, Achmad Maulana berjalan dari rumahnya lebih dari dua kilometer untuk memulung. Setiap kali menemukan botol air mineral, kardus, hingga besi, ia akan ambil dan menaruhnya di karung ia gotong di pundak.
“Itu semua berharga bagi kami. Itu sumber ekonomi kami,” jelasnya.
Rosidah menjelaskan jika kondisinya membaik, ia juga akan ikut suaminya memulung. Berbekal masker, tongkat, dan pengait botol, Rosidah turut mengambil barang yang bisa dijual diatas tumpukan sampah pembuangan BSD City. Terik panas matahari tidak ia rasakan. Terpenting ia harus mendapatkan uang untuk berobat dan kebutuhan Sabilah.
Sampah yang sudah dipilah itu selanjutnya akan dibawa pulang. Pada saat di rumah, sampah botol air mineral tersebut akan dipisahkan antara tutup, botol, dan labelnya. Sabilah sendiri tidak malu untuk membantu orang tuanya. Disaat teman-teman sebayanya asik bermain, ia rela badannya kotor dan bau untuk membersihkan barang yang didapat dari memulung.
Dalam satu hari Rosidah bisa mendapatkan uang maksimal Rp30 ribu dari menjual barang hasil memulung. Jumlah tersebut tentu sangat sedikit jika dibandingkan kebutuhan Rosidah.
Misalnya dalam satu kali kunjungan cuci darah, ongkos yang dibutuhkan minimal adalah Rp100 ribu. Itu saja sudah sangat minim dan hanya bisa untuk beli bensin, air mineral, dan bayar parkir. “Paling buat makan beli gorengan.”
Rosidah mengaku harus benar-benar dalam mengelola uang tersebut. Tidak tahu bagaimana caranya, uang tersebut harus bisa diolah untuk biaya berobat, kebutuhan sekolah Sabilah, makan sehari-hari, dan membayar premi BPJS Kesehatan bagi suami dan anaknya yang dalam satu bulan sebesar Rp70 ribu.
Rosidah mengaku untuk membayar premi BPJS Kesehatan suami dan anaknya cukup berat. Ia sudah coba mengurus ke pelbagai pihak agar premi keluarganya diberikan gratis akan tetapi sampai hari ini tidak diizinkan.
“Saya sudah mengurus sampai membawa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ke kantor BPJS Kesehatan dan Pemerintah Daerah tapi tidak bisa. Itu cukup memberatkan saya di tengah kondisi kami,” tukasnya.
Maka tidak heran, hanya akan ada satu telur per harinya yang akan dikonsumsi keluarga Rosidah. Tidak ada daging ayam apalagi daging sapi. “Yang penting Sabilah bisa makan,” ujarnya terisak.
Dengan kondisi ekonomi yang kurang baik, ia kadangkala juga tidak sanggup menebus obat yang tidak tercover oleh layanan BPJS Kesehatan. Sehingga ia harus pintar-pintar dalam mengkonsumsi obat yang didapatkan. Meskipun ia tahu dampaknya akan buruk pada kesehatannya.
Pun, situasi kadangkala memang tidak selalu berpihak. Suami Rosidah yang seringkali mendapat panggilan menjadi tenaga buruh lepas harus rela tidak berangkat karena jadwalnya berbarengan dengan jadwal cuci darah dirinya. Akibatnya, tidak ada pemasukan lebih yang bisa mereka dapatkan.
“Itu sering terjadi. Makanya kita hanya mengandalkan uang dari memulung saja,” ujarnya. “Tapi tidak apa, saya akan terus berjuang untuk sehat demi Sabilah.”
Kini, Sabilah sudah berusia 13 tahun. Ia mulai beranjak dewasa dan sedang menyusun cita-citanya melalui jenjang pendidikan dasar dan akan terus berlanjut. Setiap pagi, Sabilah selalu bersemangat mengikuti kelas daring yang diberikan oleh gurunya. Meskipun kadang kala ia harus rela absen karena ponselnya harus dibawa Rosidah untuk cuci darah.
“Kami hanya punya satu ponsel. Makanya gantian. Kalau sedang jadwal cuci darah saya izin ke gurunya Sabilah agar pengumpulan tugas di sore hari,” katanya.
Rosidah berharap pada suatu hari nanti, Sabilah akan menjadi anak yang berhasil dan tidak mengikuti jejak orang tuanya. Sabilah, bagi Rosidah adalah anugerah yang dititipkan Allah kepadanya. Ia tidak pernah menyesal pernah mempertahankan Sabilah meskipun kini dirinya menderita. (ATR)
*Tulisan ini telah diperbaharui pada tanggal 15 Februari 2023