Kisah Pilu Pasien Ginjal Kronik dari Timur Indonesia

KPCDI – “Bagaimana dengan nasib saya? Apa memang saya harus dibiarkan (hidup menderita) begini?” kata Sumihar Pasaribu, Maret 2020 silam. Nada bicara Pasaribu seketika meninggi setelah pihak Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Merauke dan BPJS Kesehatan tidak mau menanggung biaya pengiriman cairan dianeal untuk penyakit ginjal kronik dengan terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD).
Pasaribu sendiri adalah satu-satunya pasien ginjal kronik yang menggunakan terapi CAPD di Kabupaten Merauke. Pasaribu memilih terapi CAPD karena dokter di RS Cikini Jakarta yang kala itu memvonisnya menyarankan Pasaribu untuk menggunakan CAPD dibandingkan hemodialisis atau cuci darah karena dianggap lebih aman.
Akan tetapi, karena memilih terapi CAPD, Pasaribu mengalami kesulitan dalam mendapatkan cairan dianeal. Untuk satu kali pengiriman cairan CAPD, Pasaribu harus membayar Rp8 juta untuk ongkos kirimnya melalui kapal dari Jayapura ke Merauke.
Pasaribu yang kala itu sudah memasuki usia 70 tahun kaget bukan kepalang. Yang ia pikirkan bagaimana mungkin ia bisa membayar uang sebesar itu pada saat dirinya sudah tidak lagi bekerja. Atas dasar itulah ia meminta bantuan kepada pemerintah daerah Merauke untuk membantu membayar biaya ongkos kirim.
Pemda pun menyetujui permintaan Pasaribu dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp80 juta untuk biaya ongkos kirim cairan CAPD selama 10 bulan. Sementara untuk biaya cairannya, seluruhnya ditanggung oleh pihak BPJS Kesehatan.
Akan tetapi memasuki bulan ke-11, Pemda dan pihak rumah sakit tidak mau lagi menanggung beban ongkos kirim tersebut dengan alasan tidak ada uang. Pada saat itulah Pasaribu naik pitam dan menanyakan tentang nasibnya ke depan. Alhasil, Pasaribu membuat pertemuan dengan pihak RS dan BPJS Kesehatan.
Dalam pertemuan itu, Pasaribu berujar bahwa sebaiknya carian itu dikirimkan melalui pelabuhan di Surabaya langsung menuju Merauke dengan anggapan biaya ongkos kirimnya jauh lebih murah. Pihak BPJS menyetujuinya dengan salah satu syarat bahwa Pasaribu harus menanggung sendiri biaya ongkos kirimnya.
“Mereka (BPJS Kesehatan) bilang, ‘kalau Bapak mau tanggung sendiri ongkosnya silakan,” kata Pasaribu kepada Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Jumat (1/5).

Karena tidak memiliki pilihan lain, Pasaribu menyetujui hal tersebut. Masalahnya cairan dianeal sangat dibutuhkan pasien ginjal kronik untuk menggantikan fungsi ginjal yang sudah kadung rusak. Sialnya, Pasaribu sendiri pula yang harus memesan cairan CAPD kepada pihak distributor yakni PT Enseval Putera Megatrading.
“Saya yang berurusan sendiri. Kita minta surat pengantar dan memesan sendiri,” imbuhnya.
Disisi lain, pihak RSUD Merauke, berujar kepada Pasaribu bahwa pihaknya akan berusaha mengusulkan pelayanan CAPD masuk ke dalam anggaran tahun 2021. Dan, pihak BPJS Kesehatan akan membantu membuat surat rekomendasi kepada PT Enseval terkait pengiriman cairan CAPD langsung ke Kabupaten Merauke.
Adapun, untuk biaya kirim dari Surabaya ke Merauke, Pasaribu lantas melakukan negosiasi dengan salah satu pihak anak buah kapal yang ia kenal. Kala itu Pasaribu meminta tolong kepada anak buah kapal untuk membawa cairan CAPD-nya dan diberi imbalan ganti sebesar Rp7 juta dalam waktu satu tahun.
“Itu saya nego karena saya kenal awak kapalnya jadi saya minta tolong,” ujarnya. Adapun perjalanan dari Surabaya menuju Merauke menempuh waktu dua minggu lamanya. Pun, jadwal tersebut belum tentu sesuai jadwal karena terkadang kapal mengalami sedikit masalah di lautan.
“Jadi, kalau kekurangan pasti ada tapi paling 2-3 hari saja (telatnya). Jadi saya pakai dua kali atau tiga kali satu hari. Saya hemat-hemat,” jelasnya.
Sulitnya mendapatkan cairan CAPD tidak hanya terjadi pada Pasaribu dan Merauke saja. Sugianto (57), yang juga pasien ginjal kronik dengan terapi CAPD juga sangat sulit mendapatkan cairan tersebut di daerah tempat tinggalnya di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Menurut Sugianto, pada Januari-Februari 2021, ia dan empat orang lainnya pasien CAPD di Manokwari sama sekali tidak mendapatkan cairan. Kala itu, pihak BPJS Kesehatan berasalan cairan CAPD tidak bisa datang dari Sorong karena proses legalisasi yang seharusnya dilakukan pasien namun terlambat dilakukan.
“(Ini aneh), ini masalah hidup dan mati (tapi) dituntut legalisasi sama BPJS,” ujar Sugianto ketika berbincang melalui sambungan telepon, Jumat (5/1).
Dengan keadaan tersebut, Sugianto harus menghemat proses penggantian cairan. Dalam sehari ini hanya satu atau dua kali saja mengganti cairan. Pun, ia juga harus lebih sering berpuasa agar cairan dalam tubuhnya tidak banyak terbuang. Efek dari kurangnya waktu ganti cairan itu, Sugianto mengatakan bahwa kesehatan tubuhnya jauh menurun.
“Cairan itu baru datang pada 18 Maret atau setelah dua setengah bulan tidak ada,” katanya.
Menurut Sugianto kesulitan mendapatkan cairan CAPD bagi pasien ginjal kronik di Manokwari sudah terjadi sejak zaman dahulu. Bahkan pada saat kurva penyebaran pandemi covid-19 sedang tinggi-tingginya ia sama sekali tidak mendapatkan suplai cairan karena tidak ada kapal yang berangkat dari Sorong ke Manokwari.
Pada saat itu, Sugianto harus menyewa mobil dengan harga Rp8 juta untuk membawa satu paket cairan CAPD sebanyak 20 dus dari Sorong ke Merauke. Hal itu harus ia lakukan karena ia sangat membutuhkan cairan tersebut. “Itu pakai jalur darat waktu tempuhnya 12 jam. Saya ambil pakai uang pribadi.”
Disisi lain, Sugianto–yang berprofesi sebagai seorang guru–juga mengeluhkan proses pencarian cairan CAPD bagi pasien yang terbilang berbelit-belit. Misalnya, Sugianto harus ke rumah sakit untuk mendapatkan resep dari dokter, kedua ia harus ke kantor BPJS Kesehatan untuk melakukan legalisasi, dan kembali lagi ke RS untuk mengambil cairan jika sudah datang.
“Jaraknya RS dari rumah sekitar 80 kilometer. Jadi kita tiga kali kita turun ke kota. Legalisasi itu saya berdebat sama dokter BPJS. Harusnya kalau di Jawa dokter spesialis di rumah sakit kan sudah kasih resep ACC langsung kan cepat. Tapi ini kita harus antri lagi di BPJS untuk tanda tangan dokter BPJS,” lanjutnya.
Pun, permasalahan bagi pasien ginjal kronik di Kabupaten Manokwari tidak hanya sampai disitu saja. Menurut Sugianto, banyak pasien ginjal kronik yang menyerah karena tidak adanya layanan kesehatan bagi mereka. Jangankan untuk cairan CAPD, di Manokwari sendiri tidak ada unit untuk pasien melakukan proses cuci darah.
“Dan masalahnya disini nggak ada cuci darah dan harus ke Jayapura. Mereka merawat manual sendiri karena dokter juga tidak tahu PGK (Penyakit Ginjak Kronik). Mereka menyerah karena kalau mau perawatan harus ke Jayapura atau Jawa. Ke Jayapura 1,5 jam pakai pesawat, kalau kapal dua hari dua malam,” jelasnya.
Potret di atas adalah gambaran kecil bagaimana sarana kesehatan khususnya bagi pasien ginjal kronik masih belum merawat di negeri ini terutama di wilayah Indonesia timur. Ketua Umum KPCDI, Tony Richard Samosir menjelaskan seharusnya pemerintah lebih melek lagi bahwa kesehatan masyarakat di Indonesia bagian timur sudah saatnya lebih diperhatikan.
“Ini menjadi gambaran bahwa wilayah Indonesia Timur belum mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik,” ujarnya.
Pun, Tony melihat kejadian di atas sejalan dengan buruknya pendistribusian cairan CAPD bagi pasien yang belum merata. Data yang diterima KPCDI, sengkarut ini telah terjadi setidaknya di 19 RS di Indonesia. KPCDI melihat PT Enseval melakukan tindakan diskriminasi dalam melakukan pendistribusian yang tidak merata.
Karena sejatinya penggunaan consumables dan jasa pada pelayanan CAPD dibayarkan sebesar Rp7,5 juta per bulan per satu pasien oleh negara, sebagai tarif Non INA-CBG yang di dalamnya sudah termasuk pendistribusian obat langsung ke pasien. Hal ini dikarenakan berat cairan seluruhnya yang harus dibawa tiap pasien mencapai 280 kilogram yang terdiri dari 20 box cairan dianeal. (ATR)