Banyak Obat BPJS Sulit Ditebus, KPCDI Soroti Disparitas Tarif Pasien Ginjal Kronik yang Tidak Kunjung Selesai

KPCDI – Ketua Umum Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir kembali menyoroti adanya disparitas tarif BPJS Kesehatan bagi para pasien ginjal kronik di Indonesia. Disparitas tarif tersebut menyebabkan adanya hak pasien atas obat yang gagal dipenuhi hingga hari ini. 

Praktik yang terjadi hari ini pelayanan di unit dialisis di RS tipe A jauh lebih baik dibandingkan dengan pelayanan di unit dialisis tipe C dan D. Dimana di RS tipe A pasien mendapatkan hak atas obat dan pemeriksaan penunjang sementara di tipe C dan D tidak. Hal itu menyebabkan kualitas hidup pasien dialisis di unit dialisis tipe A jauh lebih baik. 

“Karena akses pelayanan kesehatan dipenuhi untuk seluruhnya,” kata Tony dalam webinar bertajuk Diskusi Perlindungan Konsumen Pasien BPJS Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI (28/4).

Menurut Tony, pasien dialisis di unit tipe C dan D terkadang hanya mendapatkan proses dialisisnya saja tapi tidak mendapatkan penunjang kesehatan lainnya, dikarenakan tarif tindakan dialisis yang menjadi satu paket termasuk didalamnya obat dan pemeriksaan laboratorium. Padahal pembayaran premi iuran BPJS yang mereka keluarkan sama akan tetapi tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang sama. 

“Jadi hak pasien atas obat gagal dipenuhi di tipe C dan D,” ujarnya. Atas kejadian ini, Tony dan KPCDI sebenarnya sudah melakukan stakeholder meeting dengan pihak Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kementerian Kesehatan untuk melakukan upaya agar disparitas tarif ini ditinjau ulang demi kualitas hidup pasien yang lebih baik.

Menanggapi adanya disparitas tarif, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyebut bahwa untuk menentukan tarif iuran BPJS Kesehatan berada di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Menurutnya BPJS Kesehatan telah membayarkan tagihan ke unit dialisis sesuai dengan ketentuan dari Kemenkes.

Yang terjadi hari ini, Ghufron menyebut bahwa pihaknya membayar tarif dialisis untuk satu kali tindakan ke unit tipe C dan D adalah sebesar Rp850 ribu. Sementara untuk yang tipe A sebesar Rp1,3 juta. Ia pun mengaku akan menyamakan tarif pembayaran antar unit dialisis jika Kemenkes meminta. 

“Nah kalau sekarang kami bayar Rp1,3 juta tentu ini pasti resources kita terbatas. Nanti kalau kita bayar sama Rp800 ribu tipe A pasti teriak karena resourcesnya lebih banyak masa disamakan sama tipe D dan C. Tapi kalau Kemenkes suruh bayar Rp1,3 juta untuk seluruhnya kami ikut dan kami akan bayar,” jelas Ghufron.

Sementara itu, Ketua Indonesian Renal Registry (IRR) dr. Afiatin menjelaskan bahwa adanya disparitas tarif antar unit dialisis tidak bisa terhindarkan. Hal itu setelah adanya perhitungan cost yang memperhitungkan jumlah komponen pelayanan dari setiap unit dialisis. Misalnya, contoh fasilitas di unit dialisis tipe A secara sarana tentu tidak sama dengan tipe D. Pun ada perhitungan dari segi biaya Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat.

“Jadi mau tidak mau berbeda,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Afiatin menjelaskan di RS Hasan Sadikin Bandung–tempat ia praktik–BPJS Kesehatan hanya membayarkan uang sebesar Rp968 ribu dan Rp1.004 juta untuk tipe A swasta untuk satu kali tindakan dialisis. Nominal tersebut memang dirasa cukup untuk melakukan satu kali tindakan dialisis saja. 

Akan tetapi, menurut Afiatin pasien dialisis tidak hanya berhenti pada saat hemodialisis (HD) saja. Pasien HD itu juga harus di follow up pemeriksaan lab-nya, harus dapat obat-obatan rutin karena HD hanya menggantikan satu fungsi. 

“Dia harus punya obat anti hipertensi, penanganan komplikasi ke anemia, penanganan komplikasi ke tulang dan banyak sekali,” jelas Afiatin.

Juga masih harus mendapat suntikan terapi anemia dengan disuntikan hormon eritropoietin atau EPO. Meskipun harganya saat ini sudah cukup terjangkau akan tetapi dalam satu bulan satu pasien dialisis bisa mendapatkan delapan kali suntikan. Dengan demikian tarif yang dibayarkan kepada unit dialisis tipe C dan D sudah tidak bisa mengcover itu semua.

Kalau saya lihat optimal di cover secara keseluruhan, kami sudah hitung dari tim kajian Pernefri dan sampaikan ke P2JK minimal Rp982 ribu pada tahun 2018,” tegasnya. 

DisisI lain, Afiatin menyebut sebenarnya saat ini Kemenkes sudah membuat program yang disebut sebagai Reklasifikasi dalam rangka pembuatan Indonesia Case Based Group (CBG). Program tersebut sudah dirancang selama dua tahun dan sudah disepakati bahwa akan ada perbedaan tarif bagi setiap pasien.

“Misalnya pasien HD yang hari ini dapat EPO atau pasien HD dapat obat-obatan itu ada kode khusus. Tapi kemudian program ini terhenti karena covid. Waktu itu sudah mulai uji coba dari P2JK. Dari Kemenkes dan BPJS sudah ada langkahnya cuma memang yang bermasalah koordinasi dan follow up,” pungkasnya. (ATR) 

Leave a Reply