Sengkarut Pendistribusian Cairan CAPD, Pasien Ginjal Kronik Menjerit

KPCDI – Jalan hidup menjadi seorang pasien gagal ginjal kronik membuat AAN tidak terpuruk dalam duka. Secercah harapan untuk hidup layaknya orang normal ia jalankan. Ia memilih terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) untuk mengganti fungsi ginjalnya yang telah rusak. 

Selama dua tahun menjalani CAPD, ia seringkali pontang-panting ke Rumah Sakit Hermina Bekasi, Jawa Barat, untuk mengambil cairan dianeal. Dalam sebulan ia harus mengambil sebanyak 120 kantong cairan dianeal yang terbungkus di dalam 20 box dengan berat 280 kilogram.

Menurut AAN, mengambil cairan sebanyak itu bukanlah perkara mudah. Ia harus membawa sebuah mobil dengan ukuran besar untuk bisa membawa cairan itu ke rumah. Tentu saja hal itu menjadi persoalan.

Masalahnya, dari 59 pasien CAPD di RS Hermina Bekasi tidak semuanya memiliki kendaraan dan tidak memiliki biaya untuk menyewa kendaraan. Akibatnya mereka harus mengalami penundaan penggantian cairan yang itu sangat berpotensi membuat kualitas kesehatan pasien terganggu.

“Banyak dari teman-teman ini yang tertunda ambil cairan karena tidak ada biaya buat sewa mobil saat ambil cairan,” cerita AAN kepada Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Selasa (27/4). 

Untuk bisa membawa cairan dianeal itu ke rumah pasien, para pasien CAPD seringkali melakukan subsidi silang untuk menyewa mobil box. Harga untuk sekali menyewa kendaraan box tersebut tergantung jarak yang harus ditempuh. Yakni berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. 

“Kita inisiatif teman-teman yang kebetulan ada lebih (uang) kita patungan buat teman-teman yang belum bisa tebus cairan dan itu berlangsung bertahun-tahun,” ujarnya.

Bagi pasien gagal ginjal cairan dianeal adalah nyawa kedua. Sehingga jika telat melakukan pergantian cairan maka efeknya tentu akan membuat tubuh kehabisan cairan dan membuat adanya penumpukan racun di badan dan bisa menyebabkan kematian.

Disisi lain, duit yang harus dikeluarkan pasien untuk menyewa mobil tentu saja membuat mereka menjerit. Musababnya, disisi lain uang tersebut bisa digunakan untuk menebus obat-obatan lainnya yang tidak tercover oleh BPJS Kesehatan. 

Pun, AAN mengaku dirinya tidak mengetahui bahwa pemerintah sebenarnya sudah membuat aturan kebijakan yang menyebut bahwa cairan dianeal harus dikirimkan ke rumah pasien oleh pihak distributor yakni PT Enseval Putera Megatrading. Akan tetapi apa yang terjadi hari ini, pasien justru dibebani untuk mengambilnya sendiri di bagian farmasi rumah sakit.

Adapun kebijakan yang AAN maksud adalah, Dasar hukum pendistribusian cairan CAPD bagi pasien diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik lndonesia No: HK.01.07/MENKES/274/2018 tentang Uji Coba Tatalaksana Penyakit Ginjal Tahap Akhir Dalam Rangka Peningkatan Cakupan Pelayanan CAPD.

Peraturan Menteri Kesehatan No: 812/MENKES/PER/VII/2010 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Dan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 dan 64 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Pun, pendistribusian obat yang dimaksud langsung ke pasien juga sudah disetujui oleh Badan POM sesuai Peraturan Badan POM No: 9 Tahun 2019 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) pada setiap tahapan operasional dan bertanggung jawab atas jaminan mutu produk dan keamanan pendistribusian serta penggunaannya.

Menanggapi sengkarut tersebut, Direktur Medis RS Hermina Bekasi, dr. Yuanna menjelaskan pihaknya selama ini mengaku tidak mengetahui adanya peraturan tersebut. Disisi lain, pihak distributor juga sama sekali tidak memberitahukan hal yang sama. Hal itu membuat pihak rumah sakit menjalankan prosedur yang sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

Yaitu, cairan dianeal akan diresepkan oleh dokter yang bertanggung jawab kepada pasien dan akan diresepkan ke pihak farmasi. Ketika cairan tersebut sudah tersedia maka pasien akan diberikan kabar untuk selanjutnya diambil.

“Jujur kami emang nggak ada pemberitahuan dari Kemenkes ataupun dari distributornya sendiri makanya pasien tetep ngambil sendiri di farmasi dan di bawa pulang sendiri,” ujar Yuanna. 

Untuk menyelesaikan persoalan ini sebenarnya pihak RS Hermina Bekasi juga sudah melakukan audiensi oleh pihak PT Enseval dan pasien. Dalam pertemuan tersebut, Yuanna menjelaskan bahwa pihak rumah sakit meminta PT Enseval melakukan distribusi cairan CAPD hingga ke rumah pasien sesuai kebijakan yang berlaku. 

Setidaknya, RS Hermina juga sudah mengirimkan surat sebanyak dua kali kepada PT Enseval untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut. Akan tetapi sampai hari ini pihak PT Enseval masih belum memberikan jawaban berarti. 

Informasi yang didapat Yuanna, pihak PT Enseval yang bekerjasama dengan RS Hermina Bekasi menyebut bahwa surat tersebut sedang dikoordinasikan di pihak pusat. “Mungkin dia sudah sampaikan tapi dari pusatnya belum ada jawaban. Hanya bisa sedang dikoordinasikan terus.”

Akibat tidak adanya jawaban atau itikad baik dari PT Enseval, KPCDI secara resmi telah mengajukan surat pengaduan kepada Menteri Kesehatan Indonesia Budi Gunadi Sadikin, terkait adanya dugaan penyelewengan pendistribusian cairan dianeal bagi pasien gagal ginjal kronik yang menggunakan terapi CAPD.

Menurut Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir, surat resmi No: 010/KPCDI-PST/IV/2021, yang dikirimkan pada 26 April 2021, menyoroti pendistribusian obat atau cairan ke pasien yang tidak terlaksana dengan baik. Data yang diterima KPCDI, sengkarut ini telah terjadi setidaknya di 19 RS di Indonesia.  KPCDI melihat PT Enseval melakukan tindakan diskriminasi dalam melakukan pendistribusian yang tidak merata.

Misalnya, di sebagian rumah sakit, PT Enseval mendistribusikan cairan CAPD sampai ke rumah pasien. Disisi lain, mereka justru tidak melakukan hal yang sama bagi pasien gagal ginjal kronik di rumah sakit lainnya.

“Menkes Budi Sadikin harus bertindak tegas kepada PT Enseval. Hal ini perlu dilakukan karena pendistribusian cairan CAPD bagi pasien sedianya telah diatur dalam banyak kebijakan,” kata Tony di Jakarta, Selasa (27/4). 

Disisi lain, Tony melihat kejadian ini mengindikasikan adanya dugaan penyelewengan kebijakan dan kerugian keuangan negara. Parahnya, pasien sebagai pihak yang paling dirugikan secara materi atas kejadian tersebut. Bagaimana tidak, pasien ginjal kronik sedianya tidak boleh mengangkat beban yang terlampau berat karena beresiko pendarahan.

Dugaan kerugian keuangan negara yang dimaksud, karena sejatinya penggunaan consumables dan jasa pada pelayanan CAPD dibayarkan sebesar Rp7,5 juta per bulan per satu pasien oleh negara, sebagai tarif Non INA-CBG yang di dalamnya sudah termasuk pendistribusian obat langsung ke pasien. Hal ini dikarenakan berat cairan seluruhnya yang harus dibawa tiap pasien mencapai 280 kilogram yang terdiri dari 20 box cairan dianeal.

“Praktiknya hari ini, banyak pasien yang tidak bisa mengambil cairan tersebut karena terkendala masalah biaya. Mereka bahkan saling patungan untuk menyewa mobil box mengingat berat cairan yang tidak memungkinkan menggunakan mobil pribadi,” tegasnya. “Angka yang sudah dibayarkan oleh negara kemana karena hak pasien tidak terpenuhi.”

Atas dasar itu, Tony mendesak agar PT Kalbe Farma dan PT Enseval Putera Megatrading sebagai pihak distributor bertanggung jawab dalam mendistribusikan obat atau cairan CAPD tersebut langsung ke pasien, baik di RS Hermina Bekasi dan sejumlah rumah sakit di lndonesia.

“Besar harapan kami pengaduan ini dapat diterima sehingga hak-hak pasien gagal ginjal tahap akhir dapat kami perjuangkan bersama-sama dan juga turut mensukseskan program pemerintah dalam hal peningkatan cakupan pelayanan CAPD dan pengendalian defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan,” pungkasnya. (ATR)

Leave a Reply