Puasa Ramadhan dan Penyakit Ginjal Kronik

KPCDI – Bagi umat muslim di seluruh dunia, Bulan Suci Ramadhan adalah hal yang paling dinantikan. Ibadah puasa sendiri mengharuskan setiap umat Muslim menahan segala hawa nafsu termasuk tidak makan minum bagi mereka yang dinilai mampu menjalankannya. 

Pertanyaannya, apakah pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) bisa menjalankan ibadah puasa? Dan apa saja yang harus diperhatikan? 

Secara ilmiah, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Divisi Ginjal dan Hipertensi, Dr. dr. Nur Samsu, Sp, PD-KGH, menjelaskan berdasarkan bukti-bukti penelitian menunjukkan mereka yang tidak boleh berpuasa adalah yang mengalami penyakit gagal ginjal akut. 

Menurut dosen dan staf medis pada sub bagian ginjal dan hipertensi di RSUD dr. Saiful Anwar Malang ini, hal ini masuk akal karena pada saat kondisi sudah akut maka prosesnya harus berjalan cepat, dan mekanisme intervensinya jelas. Terutama pada pasien ginjal stadium awal dimana secara teoritis puasa akan berpengaruh terhadap aliran darah ke ginjal menjadi menurun sehingga fungsi ginjalnya dikhawatirkan akan memburuk. 

Untuk penyakit ginjal kronik yang belum dialisis, banyak pendapat ahli yang tidak selalu sejalan. Bagi pasien GGK stadium tiga yang mengalami perburukan lebih cepat dan di luar kewajaran maka perlu mempertimbangkan kembali untuk tidak berpuasa. 

“Bilamana laju filtrasi glomerulus atau GFR kurang dari 45 atau di bawah stadium tiga itu umumnya tidak boleh. Tapi ini sesuai kondisi pasien,” kata Samsu dalam webinar yang diselenggarakan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) dan didukung oleh BAXTER, Minggu (19/4).

Disisi lain, banyak penelitian mengklasifikan menjadi tiga kategori faktor resiko pasien gagal ginjal yang bisa berpuasa. Pertama adalah kategori rendah dimana pasien ginjal kronik stadium 1-3 yang memiliki fungsi ginjal stabil maka diizinkan menjalankan ibadah puasa.

Kedua adalah resiko tinggi dimana pasien GGK stadium 1-3 akan tetapi fungsi ginjalnya tidak stabil ditandai dengan penurunan GFR atau laju filtrasi glomerulus yang cepat. Atau ada kerapuhan pasien lanjut usia yang resiko jatuh tinggi dan sebagainya maka tidak perlu berpuasa.

“Ada gangguan elektrolit terutama natrium, kalium, ini resiko dehidrasi tidak hanya dari sisi pengobatan tapi juga cuaca. Kalau pasien-pasien bekerja dilingkungan yang menguras energi banyak berkeringat sehingga kita kategorikan sebagai resiko tinggi,” ujarnya.

Ketiga, adalah resiko yang sangat tinggi pasien stadium 4-5 atau dimana GFR di bawah 30. Untuk pasien non dialisis juga ada faktor lain seperti yang masuk kategori sangat tinggi misalnya sisa fungsi ginjalnya sudah sangat menurun.

Juga terjadinya gangguan keseimbangan cairan, misal sering bengkak, sering sesak, kadar kalium yang tinggi, mungkin motivasi yang kurang, kepatuhan pengobatan yang kurang dan ini perlu diperhatikan sekali oleh dokter yang bertanggung jawab apakah boleh berpuasa atau tidak.

Terakhir, yang punya resiko sangat tinggi adalah pasien HD dan CAPD yang merupakan pasien GGK stadium 3-5 plus ada tambahan riwayat pasien menderita penyakit jantung koroner tentu saja pasien GGK yang hamil juga masuk ke resiko tinggi dan tidak perlu berpuasa.


Tindak Lanjut


Disatu sisi memperdebatkan alasan kesehatan dan agama memang cukup sulit. Oleh karenanya, dokter ahli ginjal ini menilai selalu ada solusi dan sifatnya sangat individual pasien. Pun, dokter yang bertanggung jawab harus memberikan edukasi tambahan penjelasan agar pasien paham terkait hal ini dan bisa menghadapi apabila terjadi kondisi darurat.

Samsu menyarankan pasien GGK untuk menghentikan puasa jika mengalami gejala sudah tidak enak badan, badan lemas, dan gemetaran. Untuk pasien CAPD dokter juga harus menilai apakah pasien tersebut memiliki cukup ginjal sisa yang ditandai oleh urin yang masih cukup dan tensi darah yang stabil.

“Jika dinilai cukup maka mungkin perlu dipertimbangkan jadi bisa saja menghentikan CAPD secara temporer ya mungkin dilakukan semula 4  kali bisa dikurangi di jam puasanya,” lanjutnya.  

Sebuah jurnal memberikan rekomendasi untuk pasien yang ingin berpuasa–terlepas dari pasien stadium berapa–yang ingin berpuasa harus dalam pemantauan dokter. Puasa harus batal kalau dalam evaluasi didapatkan kenaikan kreatinin 30% dari awal atau didapatkan kadar kalium yang tinggi dan ini perlu ditegaskan bahwa puasa itu sebaiknya tidak dilanjutkan.

Kedua, seorang pasien harus aktif komunikasi dengan dokternya lebih sering mendiskusikan gejala yang perlu diwaspadai sebagai gejala berat. Misalnya berat badan yang cepat meningkat, bengkak, sesak nafas, pusing, lemah dan letih.

“Ini perlu dipertimbangkan apakah puasanya perlu dilanjutkan atau tidak,” imbuhnya. 

Pun, pasien juga perlu mengecek kalium dan natrium secara rutin pada saat menjalankan ibadah puasa. Terpenting menurut Samsu, aktivitas fisik sebaiknya tidak berkurang sebagaimana sebelum menjalani puasa.

“Pola makan, tidur cukup, stresnya dijaga, dan yang penting kebersihan tubuh karena kondisi puasa juga berhubungan dengan sistem kekebalan yang lebih menurun dibanding tidak berpuasa. Tidak dianjurkan aktifitas fisik yang berlebihan,” pungkasnya. (ATR)

Leave a Reply