Kisah Hans Berjuang 15 Tahun Melawan Penyakit Ginjal

KPCDI – Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Segala yang telah terjadi

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Tuhan pastikan menunjukkan
Kebesaran dan KuasaNya
Bagi hambaNya yang sabar
Dan tak kenal putus asa

Bagi Hans Tondowani penggalan lagu ‘Jangan Menyerah’ dari band d’Masiv, bagaikan sebuah oase di tengah beratnya menjalani hidup sebagai pasien gagal ginjal kronik. Sajak demi sajak lagu tersebut Hans jadikan motivasi hidup lebih baik dalam kondisi seberat apapun yang ia rasakan.

Hans, pertama kali didiagnosa mengalami gagal ginjal kronik pada April 2006. Dokter menyampaikan bahwa kista yang terdapat di dalam ginjal Hans menyebabkan dirinya harus menderita gagal ginjal kronik. Bimbang, hilang arah, dan sedih sudah pasti. Apalagi, kala itu Hans baru menginjak 41 tahun. Usia yang relatif masih muda dan harus menerima kenyataan pelik. 

Akan tetapi keterpurukan itu  tidak pernah berlangsung lama. Ia langsung mengambil tindakan medis secepat mungkin dan melakukan pengobatan. Baginya, tidak ada ruang sedikitpun untuk meratapi nasib.

Untuk memastikan langkah-langkah pengobatan yang harus dilakukan, Hans langsung pergi ke Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta Pusat. Sesampainya disana, dokter yang memeriksa kondisi tubuhnya menyatakan bahwa fungsi ginjal Hans tersisa 45% dan harus segera dilakukan tindakan cuci darah. 

Setelah melakukan pengobatan selama tiga bulan, tubuh Hans tak kuasa menahan sakit. Ia jatuh tersungkur tak berdaya. Badannya terasa tidak lagi memiliki penopang. Sampai pada akhirnya Hans harus menjalani terapi cuci darah atau hemodialisis (HD) pada November 2006 sekitar pukul 23:00 WIB. 

“Kondisi saya sudah drop sekali. Nggak bisa berbuat apa-apa. Langsung cuci darah malam itu juga,” cerita Hans kepada Tim Media Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Selasa (23/3).  

Dua bulan menjalani hemodialisis, Hans merasa kesehatannya tidak mengalami perubahan. Seringkali tubuhnya tidak berdaya. Bahkan tensi darahnya selalu menunjukkan angka yang tidak seharusnya. Demi kebaikan, dokter menyarankan Hans harus beralih untuk menjalani terapi cuci perut atau Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). 

Untuk diketahui, CAPD sendiri adalah proses cuci darah yang dilakukan melalui perut. Metode ini memanfaatkan selaput dalam rongga perut yakni membran peritoneum yang memiliki permukaan luas dan banyak jaringan pembuluh darah sebagai filter alami ketika dilewati oleh zat sisa. 

Jika dilihat, terapi CAPD memang lebih menguntungkan dibandingkan terapi hemodialisis. Misalnya, CAPD hanya membutuhkan waktu 30 menit dalam penggantian cairan dan relatif lebih ekonomis karena dapat dilakukan di rumah maupun tempat kerja. Fungsi ginjal yang masih sisa juga dapat dipertahankan lebih lama. Asupan cairan dan diet hanya sedikit dibatasi. 

Karena dialisis dilakukan setiap hari, maka tubuh terasa lebih sehat dan nyaman. Dapat bekerja dan melakukan aktifitas layaknya orang normal. Sementara hemodialisis, perlu waktu jauh lebih lama yakni 4-5 jam di rumah sakit dan biaya lebih mahal karena tindakan dilakukan di rumah sakit.

Fungsi ginjal yang tersisa juga lebih cepat menurun untuk hemodialisis. Pembatasan asupan dan cairan lebih ketat dan diet juga harus diperhatikan. Proses dialisis tidak dilakukan setiap hari sehingga timbul gejala akibat tertimbun produk sisa limbah dalam tubuh. Terikat dengan waktu untuk melakukan hemodialisis di rumah sakit yakni 2-3 kali seminggu.

“Dan juga mengenai biaya (dulu) kita kalau hemodialisis kan ditanggung sendiri, CAPD pakai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada saat itu. Jadi kita beralih ke situ,” ujar Hans. 

Kala itu, menurut Hans, dirinya harus mengeluarkan uang sebesar Rp600 ribu dalam sekali menjalani proses hemodialisis. Dalam seminggu ia harus pulang-pergi ke RS sebanyak tiga kali. Biaya tersebut belum termasuk biaya transportasi, makan, dan kebutuhan lainnya. 

Setelah beralih ke CAPD, kehidupannya berjalan jauh lebih baik. Ia bisa kembali beraktifitas seperti sedia kala. Sehari-hari ia bekerja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Harapan untuk hidup kembali membumbung tinggi. 

Kini, sudah 15 tahun Hans menjalani terapi CAPD untuk melawan penyakit gagal ginjal kronik yang ada di dalam tubuhnya. Sebuah catatan waktu yang sangat lama bagi seorang pasien CAPD. Hal tersebut mematahkan beberapa asumsi bahwa pasien yang menjalani proses CAPD hanya bertahan selama tujuh tahun dan akan kembali menjalani hemodialisis. 

Hans mengaku tidak ada strategi khusus bagaimana ia bisa bertahan selama ini. Terpenting baginya selalu ikuti anjuran dokter. Misalnya ruangan saat melakukan proses CAPD selalu dalam kondisi bersih, memakai masker, cahaya yang baik, dan tidak ada binatang apapun. 

Juga dikombinasikan dengan pola hidup sehat seperti menjaga pola makan dan olahraga. Dengan menjalani semua kegiatan itu dengan baik dan benar, bagi Hans niscaya tubuh akan baik-baik saja. 

Hans sendiri baru mengalami masalah pada CAPD ketika memasuki tahun ke 15. Kala itu, Juni 2020 lubang kecil yang dimasukan selang kateter ke dalam rongga perut mengalami infeksi. Hans mengira hal itu terjadi karena dalam seminggu ia seringkali mengkonsumsi kepala ikan. 

Akibatnya ia mengalami diare sebanyak 26 kali dan membuat tubuhnya lemah. Bagi Hans hari itu adalah titik terburuk dalam hidupnya. Ia merasa hidupnya sudah tidak lagi akan lama. Ia berpesan kepada isterinya untuk segera melakukan doa penyerahan kepada Tuhan. 

“Karena saya nggak kuat. Tapi disatu sisi dari penguatan istri, anak, dan teman-teman pelayan saya kuat lagi untuk menghadapi ini. Benar kuncinya berserah kepada Tuhan,” ujarnya parau. Enam bulan lamanya Hans menjalani terapi hemodialisis, kini ia kembali menjalani terapi CAPD. Terapi yang ia selalu kehendaki.

 

Lakukan Pelayanan

Di tengah sakit gagal ginjal kronik yang ia derita, Hans sendiri adalah seorang yang memberikan pelayanan di Gereja. Sejak tahun 2004–dua tahun sebelum ia sakit–Hans terpilih sebagai salah satu majelis di Gereja GPIB Harapan Indah, Bekasi, Jawa Barat. Baginya, terdiagnosa gagal ginjal kronik tidak akan pernah menghalangi kegiatan pelayananan kepada masyarakat. 

“Artinya itu terpanggil untuk melayani,” urainya. 

Menurut Hans, jadwal pelayanan sendiri sudah diatur oleh Gereja. Biasanya ia memberikan pelayanan kepada masyarakat yang sedang menderita sakit. Jika orang tersebut dirawat di RS, maka ia akan datang ke RS untuk memberikan pelayanan dan berdoa untuk yang sakit. Pun, jika orang tersebut dirawat di rumah, Hans juga akan mendatanginya. 

Akan tetapi jadwal tersebut bukanlah sebuah patokan untuk Hans menjalani pelayanan. Kadangkala ketika ia mendengar kerabat atau siapapun yang ia kenal sedang terbaring sakit, tanpa jadwal Gereja pun Hans akan berangkat. Cara itulah yang Hans bisa berikan kepada sesama di tengah kesulitan yang sama. 

“Jadi dengan cara seperti itu saja kita membantu orang pelayanan dengan mendoakan mereka,” ujarnya.  

Foto: Hans tetap aktif melakukan pelayanan di Gereja, dan selain itu ia juga aktif mengunjungi orang yang berkesusahan dan berdoa bagi mereka yang sakit.

Saat melakukan pelayanan, Hans selalu bercerita tentang firman-firman Tuhan. Salah satunya adalah pasien harus semangat, tetap kuat, dan jangan pernah menyerah melawan penyakit. Artinya Tuhan mengutus manusia hidup ke dunia ini tidak mungkin dibiarkan untuk tinggal sendirian.

Dalam kondisi apapun, menurut Hans sebaiknya manusia harus tetap berserah kepada Tuhan. 15 tahun hidup sebagai pasien gagal ginjal kronik, sampai hari ini Hans menilai kondisi yang ia alami tidak pernah menghambat aktivitas pelayanan. Selama dirinya merasa sehat ia akan terus berangkat. Sebaliknya, jika ia sedang tidak sehat, ia tidak akan pernah memaksakan diri. 

“Kalau saat pelayanan dan saya drop nggak pernah. Kalau kemarin saya sakit tiga minggu saya tidak ikut dalam pelayanan. Jangan paksakan kalau tidak fit. Dengan kondisi pandemi ini kita juga harus hati-hati juga,” katanya. 

Bagi Hans memaknai sakit gagal ginjal kronik adalah bentuk perdamaian antara diri sendiri dengan penyakit yang sedang diderita. Apapun penyakit dan seberapa besar cobaannya, Hans selalu mensyukuri itu. Mungkin saja, melalui penyakit ini, Tuhan sedang menegur hambanya. 

Maka dari itu, mendekatkan diri kepada Tuhan adalah sebuah jawaban. Pelayanan yang ia berikan kepada masyarakat di tengah kondisi sakitnya pun ia maknai sebagai sebuah perjalanan spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena baginya hanya Tuhanlah sebagai juru selamat di muka bumi ini. 

“Kita harus bersahabat dan bersyukur dari penyakit yang kita derita,” ujarnya. 

Ia juga berpesan kepada seluruh pasien gagal ginjal di Indonesia untuk tetap bertahan sekuat dan semampunya. Juga kepada para pendamping, jangan pernah lelah memberikan motivasi untuk hidup yang lebih berkualitas kepada para pasien. 

Enjoy life. Dokter saya bilang kalau saya misal sakit kepala dan lainnya, dia bilang itu kurang happy. Jadi harus enjoy dan refreshing. Banyak teman-teman saya di RS ngobrol seperti putus asa, tinggal menunggu saja kapan mati. Sebetulnya nggak usah lah. Kita jalani saja hidup ini,” pesannya.  

Enjoy life itulah kunci Hans berhasil berdamai dengan penyakit gagal ginjal kronik selama 15 tahun lamanya. Ada kalanya kehidupan akan terpuruk di bawah, juga ada kalanya kehidupan berjalan begitu menyenangkan. Hans percaya dengan kekuatan doa semua pihak menghadirkan kekuatan untuk menjalani sisa hidup ini.

Hans adalah contoh kecil dimana seorang pasien gagal ginjal kronik bisa berjuang di tengah beratnya penyakit yang diderita umat manusia. Seperti penutup lagu d’Masiv, jangan menyerah adalah kunci utama menjalani hidup apapun kondisi dan situasinya. (ATR)

1 Comment
  • Yuliana Ully

    Sharing iman yg luar biasa…..sangat menyentuh & menginspirasi…trmksh pak Hans sudah berbagi & menyemangati

    Tuhan Yesus memberkati

Leave a Reply