Sempat Berpikir Hidup Sendiri Karena Gagal Ginjal, Akhirnya Tuhan Kirim Seorang Pangeran Bagi Hidupnya
*Penulis : Petrus Hariyanto (Sekretaris Jenderal KPCDI)
Pertama jumpa dirimu saat KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia) yang masih seumur jagung mengadakan Kopdar (Kopi darat) di Mall Semanggi. Saat itu, kamu datang bersama pacarmu. Kalian berdua terlihat mesra sekali.
Acaranya sih sederhana, makan-makan dan ngobrol tentang rencana-rencana KPCDI ke depannya. Acara ditutup dengan karoke bersama. Saat teman-teman lain menyanyi dan memegang mic, dirimu justru sedang asyik memegang tangan pacarmu. Tak sekalipun mic kau sentuh, nyanyian teman-teman bernada melo seakan mengiringi kemesraan kalian berdua.
Dua minggu berikutnya, kamu ajak lagi pacarmu datang untuk bertamasya ke Lembang, acara yang digelar KPCDI. Setibanya di Dulang Resort, kalian berdua langsung mencari tempat yang begitu romantis dan nyempil, duduk berdua sambil menikmati indahnya rerimbunan pohon yang sedang diterpa kabut putih. Dinginnya suasana justru semakin membuat kalian berdua merapat lebih erat.
Saat itu, banyak di antara kami yang iri kepadamu, berparas cantik mempunyai pacar yang gagah, tinggi dan cakep. Itu adalah mimpi semua perempuan penyandang sakit gagal ginjal yang masih jomblo, ingin dalam hidupnya ada pangeran tampan yang menjadi pasangan hidupnya.
Tetapi, kebanyakan orang melihat dari luarnya saja. Fidya yang berparas ayu dan tubuhnya yang langsing itu, tetaplah seorang pasien cuci darah yang sering menghadapi hambatan dalam usaha membangun rumah tangga.
Pacarnya bertubuh tinggi dan kekar. Mereka adalah pasangan ganteng dan cantik. Tapi perjalanan kisah asmara mereka tak semulus tubuh mereka.
“Mamanya pacarku selalu menentang hubungan kami. Dia bilang kalau beristri aku hanya akan menghabiskan uang untuk berobat. Dia juga mengatakan kepada anaknya apa tidak bisa cari cewek yang lain?” ujarnya ke aku dalam sebuah acara seminar yang diselenggarakan KPCDI.
Saat itu Fidya datang sendirian, sebuah kejanggalan karena tidak bersama sang doi. Akhirnya, ia curhat bahwa kakak pacarnya juga menentang hubungan mereka.
“Kakaknya yang tinggalnya di Papua sering kirim WA kepada adiknya bernada tidak suka kepadaku. Setiap habis main dia selalu menyatakan sikapnya, setelah mendapat laporan dari mamahnya,”
“Kenapa sih masih berhubungan dengan cewek yang punya penyakit gagal ginjal itu. Papa dan mama kan jadi pikiran. Tugas kita berbakti sama orang tua. Setelah berbakti dengan Allah, yang kedua adalah menurutin keinginan orang tua,” ujar Fidya dengan nada sendunya.
Dari cerita wanita penggemar warna merah itu, hubungan mereka kandas di tengah jalan.
“Aku mencoba bertanya tentang kejelasan status hubungan kami berdua. Bukannya mendapat kepastian, malah sering menjadi bahan keributan. Keributan itu seperti muncul dan tak mau berhenti,” ungkapnya kini dengan matanya yang mulai basah.
Bahkan katanya, suatu saat memuncak dengan perkataan pacarnya bersedia menikahi dia dengan syarat Fidya harus mampu melahirkan anak.
“Tega betul dia mengatakan begitu. Kami berdua sudah berpacaran 4 tahun. Ia sangat paham siapa diriku. Begitu susah payah, jatuh bangun diriku berjuang untuk tetap bisa bernafas dan menjalani hidup. Aku pikir, ya sudahlah, menjauh dari dia adalah pilihan yang tepat,” ujarnya dengan air mata yang mulai menetes.
Berpisah, lantas melupakan pacarnya bukanlah perkara mudah. Sejak berpisah dirinya begitu galau. Segala macam upaya dikerahkan agar bisa move on.
“Aku berusaha sesibuk mungkin untuk melupakan kepedihan hatiku. Bahkan, aku sengaja bekerja di dua tempat. Pagi sampai sore bekerja di RSGMP (Rumah Sakit Gigi Mulut Pendidikan) Trisakti Grogol, sore sampai malam bekerja di Klinik Gigi dekat rumahku (Ciledug),” ungkapnya.
Sebagai pasien gagal ginjal (CAPD), secara fisik tentu berbeda dengan orang sehat. Lambat laun tubuhnya tak kuat menerima beban kerja yang begitu berat itu.
“Suatu ketika tubuhku ambruk, bahkan sampai muntah darah,” unkaonya.
Akhirnya, sosok perempuan peng-gila traveling ini sadar bahwa untuk melupakan si doi tidak perlu dipaksain, melampaui kemampuannya.
“Biarlah mengalir saja. Hanya perlu sabar dan iklas. Dan memaafkan atas semua yang sudah terjadi,”
**
SAKIT
Aku paling nggak suka terlihat sakit. Meski kenyataannya aku sakit, tapi tampil cantik adalah bentuk kemerdekaanku sebagai perempuan. Bukan untuk menutupi keadaanku.
Kalimat di atas adalah motto Fidya dalam menjalani hidup sebagai pasien gagal ginjal. Menjadi pasien tetaplah harus tampil menawan. Ia menyadari kalau dirinya cantik dan menarik. Dalam akun FB-nya ia selalu mengunggah foto dirinya bagai seorang foto model.
Suatu ketika pernah memposting di facebook bahwa kejatuhan lelaki karena ”Tahta, harta, dan aku,”
Perempuan ini tidak berusaha menutupi akan sakitnya, malah banyak postingan yang menyatakan dirinya adalah seorang pasien ginjal kronik.
Suatu saat pernah ku tanya, kok bisa cuci darah?
Pengemar olah raga renang itu mengatakan kalau dirinya divonis gagal ginjal pada usia 20 tahun. Sebuah usia yang masih belia untuk terkena penyakit kronik tersebut. Usia dimana sedang menancapkan langkah-langkah kakinya untuk mempersiapkan diri mengejar mimpi-mimpinya kedepan. Usia dimana pesta, buku, cinta menjadi tahapan hidup yang sedang dilaluinya.
“Saat itu aku sedang mau menyelesaikan kuliahku diploma perawat gigi. Awalnya cuma batuk pilek, demam tiga hari nggak sembuh lalu periksa ke dokter. Saat itu tensiku 120/100. Membuat dokter memeriksa ginjalku melalui USG. Katanya mulai mengecil, masih bersifat gagal ginjal akut,” kenangnya.
Seperti anak muda lainnya, Fidya juga tidak merasa kuatir. Baginya, gagal ginjal itu apa? tak begitu dipahaminya.
“Saat itu dokter hanya mewanti-wanti aku harus kontrol dan minum obat secara rutin. Dokter juga memberi advis jangan berobat alternatif,” jelasnya lagi.
Berbeda halnya dengan orang tua Fidya, justru memaksa Fidya berobat alternatif. Ayah dan ibunya mengatakan mana ada sih orang tua menjerumuskan anaknya?
“Aku selalu menolak dengan alasan pengobatan model itu bersifat abu-abu. Akhirnya, dengan terpaksa aku mengikuti saran mereka. Setiap meminum jamu godokan yang dimasak di kendi, aku selalu menangis karena rasanya sangat pahit,”
Kekuatiran wanita penggemar nasi padang itu tidak bisa menyelesaikan kuliahnya ternyata tidak terbukti. Ia berhasil diwisuda sekitar September 2014. Sementara pengobatan altetnatifnya terus ia jalani. Justru itu menjadi bumerang baginya, bukan kesembuhan yang dia raih malah dokter memvonis harus segera cuci darah.
“Ayahku tidak mau menandatangani surat persetujuan untuk cuci darah. Aku gagal menyakinkan beliau. Aku hanya dirawat dengan kondisi yang semakin memburuk. HB-ku cuma 6, dan aku sudah tidak bisa dipaksa makan lagi. Setiap ada makanan yang masuk kumuntahkan lagi. Hanya infus yang masuk ke dalam tubuhku, membuat aku tetap bertahan,”
Dengan tangisan Fidya memohon kepada ayahnya agar diperbolehkan cuci darah. Jawaban ayahnya tetap tidak akan menandatangani surat persetujuan. Baginya, anaknya akan sembuh tanpa melakukan cuci darah.
“Yang kuingat, ketika sadar ada ayah yang sedang membaca alquran di sampingku. Aku juga baru tahu kalau sudah melakukan cuci darah. Ternyata aku mengalami koma,” ujarnya ke aku dengan suara lirih.
Sebagai mahasiswi yang baru lulus, mencari pekerjaan dan merintis karir adalah tahapan perjuangan berikutnya. Tetapi, bagi perempuan yang murah senyum itu, berjuang untuk tetap hidup dan bangkit lagi dari keterpurukan menjadi kewajibannya kini.
“Tubuhku boleh meregang kesakitan, tapi semangatku tak boleh dilemahkan. Di titik ini, aku bahkan tak punya bayangan tentang masa depan. Bisa bertemu hari esok saja bagiku sebuah kemewahan. Aku tau, Tuhan yg menakdirkan, tapi setidaknya aku tak mau menyerah pada keadaan,” katanya penuh perasaan optimis.
**
HIDUP BARU
Cintanya yang kadas telah membuat Fidya trauma. Dia sempat berpikir untuk hidup sendiri saja tanpa pasangan hidup. “Hidup sendirian toh bisa aku jalani. Aku masih bisa produktif bekerja, dan traveling sendirian untuk bersenang-senang,” ujarnya dengan tawa manisnya.
Fidya juga berpikir mana ada sih laki-laki yang mau menerima dirinya yang sakit-sakitan untuk dijadikan istri? Katanya, itu impossible. Tekadnya sudah bulat, memutuskan tidak akan menikah.
Tuhan ternyata punya keinginan indah buat Fidya. Ia bertemu dengan seorang pria dalam sebuah acara.
“Saat itu dia to the point menyatakan suka kepadaku. Aku juga langsung menembak saja, apakah dia dan keluarganya bisa menerimaku? Aku ini punya penyakit, bukan seperti sakit batuk yang besok bisa sembuh. Menerima dengan segala kekuranganku,” ujarnya kini lewat chating di WA.
Sejak pandemi Covid-19 ini aku nggak pernah bertemu langsung dengan dia. Ketika melihat ia memposting dirinya memakai gaun pengantin, langsung ku WA dia. Dan ku tebak kalau Fidya akan menikah.
Ia membenarkan bahkan bercerita bagaimana mimpinya itu kini hidup lagi dan akan segera menjadi kenyataan.
“Jawaban Sam awalnya kuanggap main-main. Aku berpikir itu persis dengan lelaki lain. Bahkan, ketika ia mengatakan ingin bertemu dengan orang tuaku dan ingin mengutarakan niatnya memilih aku menjadi istrinya, kuanggap bukan sesuatu yang serius,” tulisnya.
Sepertinya, Sam adalah sang pangeran yang diutus Tuhan untuk membahagiakan Fidya.
“Pas malam sehari sebelum rencana dia menemui orang-tuaku, ia menanyakan apa aku sudah memberitahu. Di sinilah hatiku terbuka dan menilai kalau Sam adalah lelaki yang berbeda,”
Kata Fidya, Sam menepati janjinya datang ke orang tuanya, sebagai pembuktian kalau dirinya serius dan mencintai Fidya. Bahkan, anak muda ganteng itu lantas memberitahu papa dan mamahnya tentang keinginannya untuk segera berumah-tangga.
“Mamah…papa, Sam suka sama seorang perempuan, tapi dia penderita gagal ginjal. Dalam agama kan tidak dilarang memperistri orang sakit?” ujar Fidya memberitahu langkah Sam meminta restu kepada orang tuanya.
Ayah Sam mengatakan bahwa ia hanya meminta satu syarat saja, yang penting seiman.
“Dalam agama tidak dilarang menikahi orang sakit. Malah dianjurkan merawat pasangannya yang sedang sakit dengan tulus dan iklas. Insya Allah akan menjadi ladang pahala buat kamu Nak,” ujar Fidya menirukan perkataan Sam.
“Aku sangat terharu akan hal ini. Ya Alloh, apakah ini jodoh yang kau berikan?”
Pada tanggal 25 Oktober 2020, Fidya memposting foto acara ijab kabul. Mereka berdua memakai pakaian pengantin adat sunda dengan warna putih. Kedua mempelai tampak begitu anggun. Anak paling bontot dari tiga bersaudara ini hanya tulisankan satu kata “sah”.
Terjawab sudah doa-doa mu. Kini, dalam hidupmu hadir seorang pria bernama Samsi Iskandar. Ia telah menjadi pasangan hidupmu, yang berjanji akan menjaga dan merawatmu, mencintaimu dengan segenap hatinya dan menerima akan semua kekuranganmu.
“Aku ingin hidup selama mungkin dan menua bersama Sam. Merasakan pahit manisnya kehidupan yang akan kami jalani. Jika Tuhan ijinkan aku ingin melakukan cangkok ginjal,” ujarnya menutup komunikasi kami.**