Kisah Pasien Cuci Darah yang Lolos dari Maut Karena Positif Covid-19
*Penulis : Petrus Hariyanto (Sekretaris Jenderal KPCDI)
Rasanya begitu kuatir dan cemas mendengar Donny Marajohan Nainggolan terkena Covid-19. Donny adalah sahabat karib ku, kami sama-sama aktif di organisasi bernama Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Ia bertanggungjawab mengelola media dan informasi di kepengurusan pusat.
Hampir sepanjang tahun ini, para pasien gagal ginjal mengalami peningkatan rasa cemas. Betapa tidak, kami sering disuguhi berita mayoritas kasus kematian pasien Covid-19 karena mengindap penyakit penyerta, salah satunya gagal ginjal.
Menurut data dari Center for disease Control and Prevention (CDC), 94 % kasus kematian pasien Covid-19 di Amerika Serikat dikarenakan memiliki komorbid (penyakit penyerta). Hanya 6 persen yang meninggal karena terinfeksi virus yang menakutkan di Tahun 2020 ini.
Kenapa harus Donny? Dia anak yang baik. Sangat berdedikasi menjalankan tugasnya di KPCDI. Hampir setiap minggu dia bertugas mengoperasikan zoom dan media sosial lainnya. Hampir tiga jam duduk depan komputer mengendalikan jalannya lalu lintas orang yang mau ikut webinar kesehatan.
Tak cukup itu, hampir setiap hari ada permintaan rapat via zoom. Kadang rapat pleno, ada juga rapat dengan cabang. Dialah yang bertugas mengoperasikan zoom. Seperti tanggal 31 Agustus, siang harinya menjalankan tugas acara webinar, sorenya dia mengeluh suhu tubuh panas. Padahal, baru sembuh dari sakit demam beberapa hari sebelumnya.
“Teman-teman, hasil tes swab sudah keluar. Hasilnya aku positif Covid-19. Mohon doa dan dukungannya. Kondisi mental saat agak sedikit syok, tapi so far masih bisa menguasi”, tulisnya di WAG Pengurus Pusat.
Itu pengakuan Donny kepada kami tentang dirinya positif terpapar virus corona. Setiap beberapa hari, penggemar rendang ini mengabarkan kondisinya saat diisolasi di rumah sakit.
Donny harus memakai alat bantu pernafasan bertekanan tinggi. “Kalau nggak pakai susah bernafas. Akan muncul batuk dan lama berhentinya. Habis ke kamar mandi dipastikan akan batuk-batuk terus. Batuknya beda, terasa kering,” ungkapnya.
Katanya, butuh waktu 30 menit untuk normal kembali dengan cara sesegera mungkin memakai alat bantu nafas. Kalau tidak akan membuat anak muda berdarah Batak itu kepalanya kesakitan.
“Mungkin kekurangan oksigen yang masuk ke otak,” katanya mencoba menjelaskan kenapa kepalanya sakit luar biasa bila tak pakai alat bantu nafas.
Selama seminggu badannya terasa lemas sekali. “Seperti kayak habis HD (hemodialisa) Pak,” ungkapnya lagi.
Donny merasa bersyukur ruang isolasinya menghadap ke taman. Dari balik jendela kaca ruangan dia bisa melihat taman. Di dalam kamar, dia tidak boleh dikunjungi siapa pun juga.
“Mamak dua tiga hari sekali datang, biasanya membawa makanan yang ku pesan. Mamak nitip ke ke perawat, setelah disterilkan baru bisa masuk ke kamarku,”
“Setelah itu dia menuju tempat isolasiku. Hanya dari luar, melalui balik jendela kaca Mamak berbicara ke aku. Dia selalu memberi semangat ke aku. Setiap mau pulang dia menangis. Buatku saat-saat terberat. Walau hatiku pedih, aku tak boleh menangis agar Mamak tak kuatir kalau diriku sekarang terinfeksi virus corona,” ungkapnya
Baginya, dukungan dan semangat Mamaknya memberi energi positif. Membuat Donny punya pengharapan dan sekuat tenaga melawan virus berbahaya yang bersarang dalam tubuhya.
Sobat-sobat Donny juga memberi semangat kepadanya. Beberapa hari mereka ramai-ramai melakukan zoom dengan Donny. Suasana begitu ceria. Lontaran-lontaran lucu sering membuat Donny tertawa dan terhibur.
Dalam ruang isolasi, Donny masih aktif bermain HP. Bahkan, ia memberi nasehat kepada sobat-sobatnya, kalau virus corona itu benar adanya dan sangat berbahaya. Ia meminta agar sobat-sobatnya jangan keluar rumah bila tak penting.
Ketika kutanya lewat WhatsApp (WA), pengobatan apa saja yang ia dapat? Donny menjawab selain obat rutin ada juga obat batuk dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.
“Saya juga disarankan dokter melatih pernafasan agar bisa bernafas normal kembali. Latihan pernafasan awal dalam posisi duduk. Untuk posisi bersujud dan tengkurap, hari pertama dan kedua tidak bisa saya lakukan, langsung batuk dan sesak. Baru hari ke 7 bisa berhasil,” ungkapnya.
“Apa kamu nggak kuatir karena dirimu pasien gagal ginjal?”
“Kuatir Pak. Apalagi pasien gagal ginjal termasuk jenis yang rentan terhadap Covid. Saya hanya mencoba pasrah sama takdir yang saya hadapi. Saya mencoba memfokuskan diri dengan apa yang sedang jalani. Berusaha sekuat mungkin untuk menyembuhkan diri dari Covid,” jawabnya
“Bagaimana dengan proses cuci darahmu?” tanyaku kembali.
“Yang ini memang banyak kendala. Hemodialisaku di ruang HCU, sedang isolasi ada ruangan khusus juga. Dari ruang isolasi aku harus tiduran dan ditutup kotak dari akrilik (intubasi), dari kepala sampai perut. Jadwalnya juga kadang tak tentu. Ketika akan menuju HCU, petugas keamanan sudah mengosongkan jalan agar tidak ada orang di sepanjang jalur yang dilalui. Persis kayak tamu negara,” ujarnya berusaha melucu.
Dalam ruang HCU saat cuci darah, menurut Donny kurang nyaman karena kotak yang menutup setengah badannya tidak boleh dilepas.
“Aku hanya bisa diam saja. Untungnya bisa tidur,” jelasnya.
**
Cobaan Belum Selesai
Pada tanggal 18 September, hari ke-10 diisolasi, Donny mengabarkan bahwa dirinya harus meninggalkan rumah sakit dan dipersilahkan isolasi mandiri. Padahal hasilnya masih positif.
“hasil test swab tanggal 15 masih positif. Kenapa tidak dirawat di ruang isolasi? Malah disuruh pulang untuk isolasi mandiri. Bukankah itu membahayakan keluargaku? Mana tes swab ketiga dan seterusnya harus bayar sendiri. Biaya tes swab agar tiga hari bisa diketahui hasilnya sebesar Rp 2,280,000, sedangkan untuk yang enam hari sebesar Rp. 1.700,000,” keluh Donny kepada teman-temannya.
“Pantesan jumlah penderita semakin banyak. Ternyata begini to cara menangani pasien Covid-19? Belum negatif disuruh pulang, padahal bisa saja dirumah mereka tidak punya kamar yang berlebih, akhirnya campur aduk dengan keluarga dan tertular ke yang lain”, kritik Tony Samosir ketika mendapat informasi yang dihadapi Donny.
Karena ingin melindungi keluarganya, anak muda yang sedang hunting mencari pasangan hidupnya itu lantas menyewa hotel yang peruntukannya untuk ruang isolasi bagi penderita Covid-19.
“Terpaksa keluar kocek sendiri. Mana tes swab ketiga ku dan seterusnya harus bayar sendiri, dan hasilnya masih positif. Uang sewa hotel dan tes swab sangat menguras tabunganku. Aku juga nggak betah tinggal di sana karena sendirian dan sepi. Aku sudah tidak bisa melihat mamak dari balik tembok kaca lagi seperti waktu dirawat di rumah sakit,” keluhnya.
Pada hari berikutnya aku menanyakan apakah tes swabnya yang ke empat sudah ada hasilnya? Aku sungguh terkejut mendenggar jawabannya.
“Nanti lah Pak, kalau sudah yakin di tubuhku sudah membaik. Nggak perlu tergesa-gesa. Nggak kuat bayarnya test swabnya. Aku nunggu realisasi kebijakan pemerintah menetapkan harga tertinggi tes swab pada kisaran Rp 900 ribu saja,” jawabnya.
Donny juga bercerita kalau sudah isolasi mandiri di rumah saja. Tak kuat lagi membiayai hotel dan makan untuk mengisolasi diri. “Nggak kuat hidup sendirian. Aku putuskan di rumah saja dengan menjalankan protokuler kesehatan dengan ketat” ungkapnya.
Donny dimata sahabatnya adalah pasien yang mempunyai fisik prima. Masih bekerja full timer di sebuah perusahaan teknologi informasi. Ia tak membolos seharipun walau harus cuci darah. Ia ambil kloter malam, seusai pulang kerja. Sehabis cuci darah, biasanya dini hari, langsung dilanjutkan tidur di rumah sakit. Paginya dia sudah berangkat ke kantor lagi dari rumah sakit.
Pulang kerja sering malam hari, karena lembur. Pulang ke Tangerang dengan menggunakan moda transportasi KRL Jabodetabek. Tangannya bergelantungan dan tubuhnya berhimpit-himpitan dengan penumpang lainnya. Wajah Donny yang begitu segar membuat orang lain tidak tau kalau dia pasien cuci darah.
Hari libur dia gunakan waktu untuk berolah-raga. Kadang jogging, tapi akhir-akhir ini status fb-nya banyak memanerkan foto dirinya gowes dengan sepeda kesayangannya.
Walau kuatir, aku dan teman-temannya yakin kalau anak muda mempunyai brewok lebat ini akan mampu menghadapi situasi yang membahayakan nyawanya itu.
**
Akhirnya Negatif
“Satu bulan 8 hari , total waktu yang dihabiskan buat bertarung dengan si Covid. 10 hari isolasi di rumah sakit, 28 hari isolasi mandiri, 4 kali swab test. Latihan pernafasan, minum obat dan vitamin rutin. Berusaha HD (cuci darah) dengan kualitas yang baik, walau jadwal yang delay, bahkan pernah hanya satu kali seminggu untuk cuci darah karena kebijakan rumah sakit,” tulis Donny
Bagi anak muda pengemar game online ini, prinsip dari awal menjalani virus corona yang bersarang dalam tubuhnya adalah berserah.
“Biarkan Tuhan yang bekerja dan membimbing, walau ragu kadang-kadang datang, namun tetap harus berjuang. Seribu alasan untuk menyerah, tapi ada satu alasan untuk bertahan, cinta kasih terhadap keluarga dan masih banyak hal yang belum gue capai, sayang kalau harus berhenti,” ujarnya mengakhiri komunikasi ku dengannya via chatting di WA.
Kini Donny mulai aktif lagi di organisasi. Tanggal 18 Oktober kemarin dia ikut Kongres KPCDI yang pertama, dan bertahan sampai akhir acara. Kini, dia akan menapaki kehidupannya lagi. Meraih mimpi-mimpinya kembali. Dan kembali berkumpul dengan keluarganya yang sempat terpisah karena virus corona itu.**