Kisah Sedih Perempuan yang Diceraikan Suami karena Idap Penyakit Gagal Ginjal dan Leukimia
*Penulis: Mella Triana
Namaku Nia (nama samaran). Aku ibu dari seorang anak laki-laki yang kini berusia 39 tahun. Disini aku ingin berbagi pengalaman berjuang melawan dua penyakit kronis yang aku derita. Ya …. Sembilan tahun lalu aku divonis gagal ginjal dan leukimia. Vonis itu datang secara bersamaan.
Tahun 2008 adalah tahun yang paling bahagia sepanjang hidupku, karena aku dipersunting oleh laki-laki yang sangat aku cintai. Aku menikah di usia ke 28 tahun.
Layaknya pengantin baru pada umumnya, aku dan suamiku sangat bahagia karena Tuhan telah mempersatukan kami. Aku rela berpindah keyakinan demi menunjukan bahwa aku siap untuk hidup bersamanya.
Sudah dua tahun lebih kami menikah tapi Tuhan tak kunjung menitipkan bayi dalam rahimku. Suamiku sangat mendambakan kehadiran tangisan-tangisan bayi mungil dirumah kami. Itu salah satu alasan pernikahan kami sering sekali diwarnai pertengkaran. Bukan saja suami, bahkan mertua dan iparku juga turut menghujatku, mereka bilang aku mandul.
Hatiku seperti tersayat sembilu dengan perkataan mereka. Wanita mana yang tidak ingin segera memberikan keturunan untuk suaminya. Tapi, apalah dayaku jika Tuhan belum berkehendak. Bukankan tidak ada satupun makhluk yang bisa melawan takdirNya?.
Pekerjaan suamiku hanyalah supir angkot, kadang juga beralih sebagai tukang ojek. Sementara aku bekerja di salah satu perusahaan. Penghasilanku cukup besar dibandingkan suamiku. Kebetulan aku tinggal satu atap bersama mertua dan iparku dan akulah tulang punggung mereka. Bahkan aku tidak peduli dengan kesehatanku, pergi pagi pulang malam aku lakukan demi mencukupi kebutuhan rumah tangga kami, serta mertua dan iparku.
Suatu hari kepalaku pusing sekali dan keluar darah dari hidung, hingga menyebabkan aku tak sadarkan diri. Aku buka mata perlahan ternyata aku sudah berada disebuah rumah sakit.
“Dok, apa yang terjadi dengan istriku?” Sayup-sayup terdengar olehku percakapan suami dan dokter yang menanganiku. Aku terbaring lemas di atas tempat tidur pasien.
“Istri bapak terkena gagal ginjal dan leukimia stadium 2. yang sabar ya pak,” Jawab seorang dokter dengan nada pelan.
Tangisku pecah. Aku membisu sesaat. Dunia seperti berhenti berputar dengan vonis itu. Rasanya aku ingin berlari menghindari kenyataan ini. Ingin aku bertemu Tuhan lalu bertanya, kenapa harus aku yang Kau uji dengan penyakit kronis seperti ini.
Semenjak vonis itu keadaan rumah tanggaku semakin tidak harmonis. Suamiku tidak bisa menerima keadaanku yang sudah sakit. Seringkali aku ingin bersandar dipundaknya, menceritakan rasa sakit yang sering menderaku. Tapi, suamiku begitu acuh dan tidak mau tahu. Hanya bentakan dan makian yang aku terima.
“Mas, kepalaku sakit sekali,” keluhku lemah.
“Sudahlah tidak usah terlalu banyak mengeluh, percaya ko sama dokter, semua orang pasti mati” ucap suamiku dengan nada sinis ketika aku sedikit saja mengadu dengan-nya.
Aku hanya bisa menangis. Aku merasa tidak ada yang peduli denganku di rumah ini. Padahal, sebagai seorang istri aku ingin dia memelukku, menenangkanku. Tapi, sepertinya semua itu hanyalah hayalan untukku.
Mana pernah suamiku mengasihaniku sebagai istri yang harus bekerja mati-matian meski dengan segala keterbatasan dan berjuang dengan rasa sakit yang kapan saja menghampiriku. Bagai seorang hamba sahaya di rumah orang tuanya ini.
Satu bulan berlalu setelah aku di vonis gagal ginjal dan leukimia, Tuhan menggantikannya dengan mengabulkan permintaanku yang selalu aku sematkan dalam doa disepertiga malamku. Dia menitipkan calon bayi di rahimku. Aku sangat bahagia. Aku berharap rumah tanggaku kembali harmonis. Aku tidak sabar untuk menyampaikan kabar bahagia ini kepada suamiku.
Air mataku mengalir dengan derasnya. Bagai mendengar suara gelegar petir di tengah hari terik, aku terkejut bukan main mendengar kata-kata dari ibu mertuaku. Bahwa anak yang ada dalam kandunganku bukanlah calon cucunya. Dia menuduhku berselingkuh dengan laki-laki lain. Pun dengan suamiku yang membenarkan apa yang ibu mertuaku ucapkan. Bagaimana bisa mereka memiliki pikiran sekejam itu?
“T-tidak!” Jeritku keras. Aku langsung berlutut kebawah kaki ibu mertuaku. Memohon agar ibu mertuaku tidak menuduhku sekejam itu.
Ketika usia kehamilan memasuki bulan ke-4, suamiku menceraikan dan mengusirku.
“Plakkkk….!” Sebuah tamparan mendarat ke pipi kananku.
“Mas, sakit,” aku berteriak saat tubuhku terlentang di kasur. Pinggangku rasanya mau patah. Perutku kontraksi begitu hebat.
“Ya Allah!” Teriakku lagi lebih kencang. Perih, sakit, pipiku rasanya panas. Bukan iba, suamiku malah terus memaki-maki dan berkata dia malu memiliki istri penyakitan sepertiku.
“M-mas, kamu benar menceraikanku?” Bibirku terbata-bata mengucapkan kata-kata itu”.
Bagaimana mungkin laki-laki yang aku puja, laki-laki yang amat sangat aku cintai, tega menceraikan-ku ketika aku sedang mengandung buah hati yang selama ini kami dambakan, hanya karena malu dengan kondisiku yang sudah sakit.
Tidak kah dia sedikit saja mengasihaniku serta janin yang sedang aku kandung. Dia malah mengusirku dan menceraikan ku.
Aku pergi dari rumah itu tanpa barang apapun. Hanya sehelai baju yang aku kenakan saat itu.
Rasa bingung menderaku. Hanya buliran air mata yang mewakili perasaanku saat itu. Kemana aku harus berlabuh, aku tidak mungkin pulang ke rumah kedua orang tuaku, karena dulu aku pernah membangkang keluar dari keyakinan keluarga kami demi hidup bersama laki-laki yang sekarang mencampakan ku. Dalam suku kami jika seorang anak yang sudah keluar dari keyakinan maka akan sulit untuk diakui sebagai keluarga.
Akhirnya, aku menghubungi sahabatku. Aku menceritakan apa yang sedang aku alami saat itu. Hanya dia yang mengerti aku, dia menawarkan tempat tinggal untukku.
“Nia, ini kamar untukmu, anggap saja aku adalah saudaramu. Apapun kebutuhanmu bicarakan padaku, jangan sungkan,” kata perempuan cantik itu yang nampak begitu antusias sekali membantuku.
Rasa terima kasihku tidak bisa aku ucapkan dengan kata-kata. Aku bersyukur memiliki sahabat yang tulus dan begitu baik.
Tidak mudah menjalani kehamilan ketika aku sudah divonis gagal ginjal. Saat itu dokter belum menyarankan aku untuk rutin cuci darah. Dokter hanya memberikan suntikan agar kandunganku baik-baik saja. Sering sekali aku drop dan tidak terhitung berapa kali aku keluar masuk rumah sakit untuk di rawat. Enam kali cuci darah aku lakukan selama kehamilan. Belum lagi sel darah putih yang selalu naik membuat daya tahan tubuhku semakin lemah. Serta anemia yang mengharuskan aku selalu menjalani transfusi darah. Ada beberapa orang yang berbaik hati setia mendonorkan darahnya untukku sampai saat ini. Salah satu dari mereka adalah seorang anak yang ditinggalkan ayahnya karena leukimia.
**
Aku melahirkan seorang anak laki-laki secara normal dengan berat badan 3,8 dan panjang 52cm di kota Jakarta, ditemani oleh sahabatku. Seharusnya suamiku yang berada disampingku, seharusnya bayi mungil ini sedang tersenyum dipangkuan ayahnya, seharusnya hari ini adalah hari yang paling bahagia dalam rumah tangga kami. Tapi ternyata nasib baik belum berpihak kepadaku. Aku bertaruh nyawa melahirkan buah hatiku tanpa suami dan keluarga yang mendampingiku. Tapi, saat itu aku berjanji, aku tidak akan membiarkan anakku menderita meski tanpa ayahnya. Aku harus menunjukkan bahwa aku bisa merawat anakku meski dalam kondisi sakit.
“Kita berjuang sama-sama ya nak, bantu ibu untuk tetap kuat membesarkanmu dan mencurahkan kasih sayang ibu juga menjadi figur seorang bapak untuk-mu”, suara lirih aku bisikan dikupingnya.
Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku dengan seorang sahabat yang sangat peduli dengan keadaanku. Aku berusaha bangkit dan menjalani semua ini dengan iklhas dan sabar. Aku yakin ada rencana indah dibalik ujian yang Tuhan berikan.
Semenjak kelahiran putraku, hari-hari aku lalui dengan penuh semangat baru. Hati dan jiwa berbunga tiap detik yang terlewati. Matahari seakan bersinar hangat sepanjang hari.
Setelah usia anakku tiga bulan, aku memberanikan diri pulang ke rumah orang tuaku. Meski dengan perasaan malu dan takut. Aku berharap mereka mau menerima aku serta anakku.
“Tok….tok,” aku mengetuk pintu rumahku
“Perempuan paruh baya itu membuka pintu,” Beliau adalah ibuku.
“Bu, maafkan aku”. Aku bersimpuh dikakinya.
Ibu memelukku, beliau ternyata sudah lama merindukanku. Karena semenjak aku menikah dan hidup bersama suamiku aku takut untuk pulang. Ayah dan ibu sangat bahagia dengan kepulangan ku. Kehadiran putraku menambahkan kebahagian mereka. Cucu laki-laki yang selama ini mereka dambakan.
Kini sembilan tahun sudah aku menjalani cuci darah. Berjuang hidup dengan dua penyakit kronis yang bersarang di tubuhku. Tapi aku bersyukur dengan kesempatan-kesempatan yang Tuhan berikan dalam hidupku.
“Hadiah tak selalu terbungkus dengan indah, kadang Tuhan Yang Maha Baik membungkusnya dengan berbagai masalah,” aku percaya itu.
Kini aku memiliki malaikat penyemangat dalam hidupku. Seorang anak laki-laki yang tampan dan pintar. Aku beri nama ia Wisnu (nama samaran) yang kini sudah berusia delapan tahun. Meski kondisiku tidak menentu, aku harus kuat demi buah hatiku. Sekarang aku masih bekerja di salah satu perusahaan meski dengan segala keterbatasan.
*Ini adalah kisah nyata dari kisah seorang pasien gagal ginjal. Demi kenyamanan, penulis sengaja menyamarkan nama pasien tersebut.