KPCDI Lampung Terbentuk, Pasien Keluhkan Regulasi Transplantasi Ginjal

Kapal Ferry yang kami tumpangi mulai melaju. Meninggalkan Pelabuhan Merak, Banten menuju pelabuhan Bakauheni, Lampung. Laju kapal begitu pelan. Selain mengangkut penumpang, kapal itu juga mengangkut mobil dan kendaraan bermotor.

Sengaja kami menggunakan jasa moda transportasi ini karena lebih irit bila dibandingkan naik pesawat terbang. Kali ini Pengurus Pusat mengutus Tony Samosir (Ketua Umum), Peter Hari (Sekjen), Donny Marojahan Nainggolan (Ketua Departemen Infokom) untuk menghadiri Kopi Darat (Kopdar) yang dilakukan teman-teman pasien cuci darah di Lampung.

Untung sore itu mendung, membuat kami berani naik di bagian atas kapal. Sebagai pasien cuci darah kami menghindari sengatan Matahari karena akan membuat kami kehausan. Asupan cairan yang masuk ke tubuh kami sangat dibatasi.

Dari atas kapal kami bisa menikmati sejuknya hembusan angin laut. Beberapa kali terlihat pulau-pulau kecil di sepanjang Selat Sunda yang kami lalui itu. Ketika Menara Singer, simbol titik nol sumatera nan anggun sudah terlihat, berarti tak lama lagi  kapal akan berlabuh di pelabuhan Bakauheni.

Malam telah larut, ketika kami sampai di penginapan di Kota Bandar Lampung. Tapi, tak menyurutkan langkah  Bunda Elin untuk mendatangi tempat kami bertiga menginap.

Dibawakannya kami martabak, dan es batu. Jadilah malam itu kami melakukan rapat, membicarakan persiapan Kopdar esok hari.

Bunda Ellin aku menyebutnya. Pemilik nama asli Herlintati ini adalah dosen di Fisip di Universitas Saburai (Sang Bumi Ruwa Jurai) Bandar Lampung. Ibu tiga orang anak ini motor penggerak acara KPCDI Lampung. Selain bunda, ada dua lainnya Pak Amin dan Rhidatul Hidayah (pendamping pasien). Mereka bertiga mempersiapkan kopdar ini yang juga akan membentuk kepengurusan cabang di sana.

Herlintati, S.Sos.,MIP., M.Si (Ketua cabang Lampung)

Mengambil tempat di Kinar Resto, masih di Kota Bandar Lampung, acara Kopdar itu digelar. Sebelum Pukul 13.00 WIB, para pasien cuci darah dan pendampingnya mulai berdatangan.

Tak hanya datang dari Kota Bandar Lampung, ada juga datang dari Kabupaten Tulang Bawang. Adalah Jauhari Efendy, sudah menjalani Hemodialisa selama 4,5 Tahun. Umurnya 31 Tahun, dan mempunyai satu anak. “Saya butuh waktu tiga jam perjalanan, untuk sampai ke tempat ini,” ujarnya penuh semangat.

Jauhari Efendy (kiri) dan Peter Hari (kanan)

Yang gandrung bersosialisasi tak melulu anak muda. Yang satu ini sudah senior dari segi umur. Tak berlebihan kami memanggilnya nenek karena usianya sudah 64 Tahun. Pemilik nama asli Tatty ini baru cuci darah enam bulan yang lalu. Ia punya pendamping yang luar biasa. Tak lain adalah adiknya yang dipanggil mami Maria. Mami Maria sangat aktif berdiskusi di WAG (WhatSapp Group) KPCDI Lampung.

Tatty [kiri] bersama adiknya Maria [kanan]
Ada pula peserta yang masih balita. Sang balita ini bernama Rafa. Usianya sudah dua tahun lebih. Pada usia 9 bulan, dia sudah harus cuci darah. Kata sang bunda, Rafa setiap 3 jam sekali harus ganti cairan (metode CAPD).

Minggu, (20/1/2019), sang bunda membawa anak yang lucu ini ke kopi darat (Kopdar) Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Lampung.

Awalnya Rafa bingung melihat  yang berkumpul pasien dewasa semua. Lama-lama dia bisa menikmati. Kadang kalau beruntung, kita bisa mendapat senyumnya yang manis.

Ketika ibunya didaulat berbicara, wanita itu sempat mau menangis ketika mengawali pembicaraannya. Akhirnya, sang bunda memberanikan berbicara untuk menyampaikan aspirasinya kepada Pengurus Pusat KPCDI yang hadir dari Jakarta.

Ibunda Rafa mempertanyakan tentang ketertinggalannya Indonesia dengan negara Malaysia untuk transplantasi ginjal.

“Kenapa sampai sekarang Indonesia tidak punya lembaga donor organ khususnya organ cadarver (mati). Sedangkan negara Malaysia, sudah punya sebuah lembaga donor, dan pasien hanya tinggal menunggu kapan mereka harus ditransplantasi?” tanyanya mengawali.

Lebih lanjut ia juga mengeluhkan pelayanan kesehatan untuk pengobatan ginjal yang masih tidak merata untuk daerah, khususnya di Lampung. Bahkan untuk obat maupun ambulance saja susah didapat.

“Kenapa Rafa hanya bisa mengambil obat dan kontrol ke RSCM ? Dan kalau Rafa lagi drop, kami susah mendapat fasilitas ambulance untuk mengantar Rafa ke RSCM,” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

Tangisnya pecah ketika sang bunda mengatakan bahwa seluruh waktunya dan suaminya tercurah merawat anak semata wayangnya itu.

“Saya dan suami lulusan sarjana kesehatan masyarakat UI (Universitas Indonesia).  Dan saya juga lulusan S2 Kesehatan Masyarakat di UGM (Universitas Gadjah Mada). Saya tidak lagi bekerja karena harus fokus merawat Rafa. Dan suami sedang mencari pekerjaan barunya di Jakarta,” ujarnya sambil menangis.

Ibunda Rafa saat berbagi cerita tentang kondisi anak semata wayangnya

Tony Samosir diberi kesempatan menjawab keresahan bunda Rafa. “Mimpi KPCDI, di Indonesia terbentuk lembaga donor organ. Lembaga ini yang akan mengurusi salah satunya transplantasi ginjal, baik organ hidup dan mati,”

“Kami curiga ada sesuatu hal kenapa sampai hari ini lembaga donor organ belum terwujud. Patut diduga ada kepentingan bisnis besar dibalik semua ini. Kita bisa melihat bahwa negara tidak serius memperhatikan nasib pasien gagal ginjal di Indonesia,”

“Biaya tranplantasi ginjal itu besar di awal. Setelahnya, biayanya jauh lebih kecil dari Hemodialisa dan CAPD. Kalau transplantasi lebih berjalan, bisa kita bayangkan produsen obat, mesin, sudah tidak laku lagi. Obat-obat penunjang lainnya juga sudah tidak dipergunakan. Bahkan pasien post transplantasi hanya sebulan sekali kontrol ke Rumah Sakit. Transplantasi begitu hemat dari segi biaya!”

“Apakah karena dugaan alasan bisnis ini, lembaga dan regulasi donor organ dihambat untuk dibentuk?” ujarnya berapi-api.

Tony Samosir saat mendengarkan keluhan masing-masing pasien

Menjawab soal kebutuhan Mama Rafa soal ambulance karena anaknya harus sebulan sekali ke RSCM Jakarta naik transportasi umum, Tony meminta agar pengurus cabang bisa saling membantu anggotanya. “Kalau perlu KPCDI punya ambulance dan rumah singgah,” ujarnya lagi sambil melirik Bunda Ellin dan Pak Amin.

Setiap pasien dan pendamping diberi waktu untuk berbicara. Berbicara Apa saja, termasuk harapan mereka kepada kepengurusan yang hari ini akan dibentuk.

Secara demokratis mereka akhirnya memilih siapa pimpinan di Lampung. Adapun yang terpilih sebagai pengurus cabang ; Herlintati, S.Sos.,MIP., M.Si sebagai Ketua, didampingi Muhammad Aminudin.,S.T.,MT selaku Sekretaris, dan Ridhatul Hidayah.,S.IP sebagai Bendahara.

Muhammad Aminudin [kiri] dan peter Hari [kanan]
Wajah ceria menyelimuti semua peserta. Kini, diantara mereka sendiri yang akan bergandengan tangan. Dengan terbentuknya pengurus, banyak peluang program dapat dijalankan nantinya, yang bisa menyentuh kepentingan pasien cuci darah di Lampung.

Selamat bekerja Pengurus KPCDI Cabang Lampung. Kalian harapan bagi pasien di sana untuk bisa memperbaiki kualitas hidup.

 

*Ciganjur yang hujan sepanjang hari

Oleh : Peter Hari (Sekjen KPCDI)

Leave a Reply