Aku Gagal Ginjal, Setelah Melahirkan Anak Keduaku

*Penulis: Mella Triani (juara 1 lomba menulis kisah inspiratif pasien gagal ginjal)
Aku seorang ibu, berusia 28 tahun. Kini dengan dua orang anak, laki-laki usia 6 (enam) tahun dan perempuan, 3 (tiga) tahun. Sudah 1,5 tahun ini aku menderita gagal ginjal stadium akhir dan harus melakukan cuci darah seumur hidupku.
Disini aku akan menceritakan kisahku, mulai dari hipertensi yang menyebabkan PEB (preeklamsia berat) pada kehamilan keduaku, hingga mataku mengalami kebutaan dan akhirnya di vonis gagal ginjal.
Semoga cerita ini, bisa menginspirasi sesama pasien gagal ginjal, untuk tetap semangat. Pun dengan teman-teman yang masih memiliki kesehatan agar tetap bisa menjaga kesehatannya dengan baik.
Bagaimana diusiaku yang masih terbilang muda, tapi, aku sudah cuci darah?
***
Kring……Kring…..Kring……Gawaiku berbunyi
Hari itu, aku mendapat kabar gembira dari seorang kakakku yang tinggal di kampung. Beliau mengabarkan telah melahirkan anak perempuan yang sehat dan cantik.
Betapa bahagianya aku mendengar kabar itu. Terlintas di pikiranku, ingin seperti beliau, memiliki anak perempuan yang cantik dan lucu, ku ikat rambutnya, kupakaikan ia sepatu-sepatu cantik, lalu, aku membayangkan gadis mungil itu berlari dan memanggilku mama.
Hingga suatu malam, ketika aku dan suamiku sedang duduk santai. Aku mencoba membicarakan apa yang ada dalam pikiranku.
“Yah” panggilanku untuk suamiku
“Iya mah” jawabnya singkat menoleh ke arahku
“Tadi siang kakak telpon, beliau udah melahirkan anak perempuan, cantik.” Ucapku seraya tersenyum kepadanya.
“Ooh syukurlah, ikut senang aku mendengarnya.” Sambungnya
“Yah, boleh gak aku program hamil lagi,” ucapku sambil menggenggam tangannya
“Kamu yakin mau hamil lagi?” Dia menatapku
“Iya, aku ingin sekali memiliki anak perempuan, boleh ya?” Tanyaku manja
“Ya sudah, bismillah ya, semoga apa yang kita inginkan bisa dikabulkan Allah” senyumnya mengembang dan mengusap halus rambutku.
Tidak butuh waktu lama, doa-doa ku dikabulkan Tuhan. Aku hamil. Setelah satu bulan aku melepas alat kontrasepsi.
Ya Allah terima kasih, Kau begitu baik. Ucapku dalam doa.
Hari demi hari, aku menjalani kehamilan keduaku, dengan penuh rasa syukur dan bahagia. Saat itu, aku merasa baik-baik saja. Kehamilan keduaku sangat tidak merepotkanku, jauh dari rasa mual, pusing, tidak seperti kehamilan pertamaku.
Aku tidak pernah lupa memeriksakan kehamilanku setiap bulannya. Mulai dari susu untuk ibu hamil, vitamin, serta obat-obat lainnya yang diresepkan bidan untukku.
Satu sampai tiga bulan berlalu, aku merasa kehamilanku baik-baik saja. Tensiku selalu normal, kondisi tubuh pun tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, saat usia kehamilanku memasuki bulan keempat, bidan yang biasa mengontrol kehamilanku menyarankan aku untuk test urine, untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja.
Akupun dengan sigap menuruti anjuran bidan. Aku melakukan test urine disalah satu puskesmas dekat tempat tinggalku.
Hasilnya menyatakan ada kebocoran protein positif tiga.
Tapi, aku berfikir itu hal biasa, dengan tenang aku menyerahkan hasil laboratorium ke pihak medis.
“Waduh, proteinnya bocor, ini bahaya lho Bu. Saya bikin surat rujukan untuk ke rumah sakit ya untuk dirawat.” Ucap seorang bidan dengan nada cemas.
“Aku mengangguk, tanpa meminta penjelasan bahayanya akan seperti apa”.
Diusia kehamilanku yang keempat, lima, sampai enam. Tensiku selalu naik. Mulai dari 140/80, 160/90, hingga 210/140.
Diusia kehamilanku yang ke tujuh, aku merasakan ada masalah ditubuhku. Setiap hari aku merasakan pusing, perutku sering kontraksi, sakit sekali. Kaki, tangan, wajahku mulai terlihat bengkak.
Suatu malam tepatnya pukul 23.40, aku merasakan kesakitan terutama di bagian perutku yang kontraksi begitu hebat.
“Ayah, aku gak kuat, perutku sakit” teriakku memanggil suamiku yang sedang terlelap tidur disampingku.
“Mah, kamu kenapa?” Suamiku langsung terbangun, terlihat kepanikan diraut wajahnya.
“Ayo kita siap-siap kita ke rumah sakit” sambungnya
Dikarenakan malam yang sudah sangat larut. Saat itu sulit sekali menemukan angkutan umum, tidak mungkin aku bisa dibonceng dengan sepeda motor dengan kondisi seperti ini.
“Mah, kamu sabar sebentar, aku mau cari pinjaman mobil”
Jangan kan berdiri, duduk saja aku gak kuat. Perutku semakin sakit, keringat dingin bercucuran. Aku meringis bersandar disamping pagar sambil menunggu suamiku.
Alhamdulilah suamiku mendapat pinjaman mobil. Sesampai di rumah sakit. Aku langsung di tangani dokter IGD. Suamiku terus menggenggam tanganku, mencoba menenangkan ku yang sedang kesakitan. Detak jantungku tak beraturan, rasanya sakit sekali. Nafasku sesak, bayi dalam perutku kontraksi begitu hebat.
Tidak henti-hentinya aku berdoa “selamatkan aku dan bayiku ya Allah”
Seorang dokter menghampiriku. Beliau mengatakan hal yang sangat mengejutkan. Kehamilanku tidak bisa dipertahankan dan harus melakukan operasi Caesar.
“Ibu, kandungan ibu tidak bisa dipertahankan. Saya jadwalkan ibu untuk operasi jam 9 pagi” ucap seorang dokter.
“Tapi dok, usia kandunganku masih tujuh bulan, apa anakku bisa diselamatkan” tanyaku cemas
“Banyak-banyak berdoa Bu, karena tidak ada pilihan, jika kehamilan ibu masih tetap dipertahankan, akan mengancam nyawa ibu” tegasnya.
Aku menghela nafas panjang. Pikiranku sudah tidak karuan, hatiku rasanya hancur. Harapanku seperti sudah pupus.
“Yah, aku takut” ucapku getir
“Sabar sayang” jawabnya seraya menghapus lembut buliran air mata yang menetes dipipiku dan menatapku sendu.
Keesokan harinya, waktu menunjukan pukul 08.15. aku harus bersiap-siap untuk menjalankan operasi Caesar dibantu beberapa perawat. Didepan pintu ruang operasi, aku mendengar seorang perawat memanggil suamiku.
“Bapak, ada yang harus bapak tanda tangani sebelum operasi dimulai. Begini saya jelaskan, kondisi kehamilan istri bapak sangat mengkhawatirkan, dan terpaksa kami harus memberikan pilihan, apakah istri atau anak bapak yang harus kami prioritaskan untuk diselamatkan?”
“Suamiku terhenyak kaget, matanya membulat sempurna. Lho… Tentu saya ingin anak dan istri saya selamat dok. Saya tidak bisa memilih salah satu dari mereka” jawabnya dengan nada bergetar.

Perawat itu terus memberikan penjelasan dan berusaha menenangkan suamiku. Hingga akhirnya suamiku memilih aku yang diprioritaskan.
Mendengar percakapan mereka, batinku semakin kalut. Aku semakin takut. Aku tidak bisa menahan air mata kesedihanku. Bayang-bayang buruk nyaris didepan mata, harapanku sudah hilang, pikirku.
Aku menoleh ke wajah suamiku yang tidak kalah kusut denganku. Matanya berkaca-kaca, nampak sekali kekhawatiran diwajahnya.
Bola mataku dan suamiku beradu padang, tapi masih dengan tatapan pilu.
“Kamu yang kuat mah, berjuang demi aku dan anak kita” ucapnya lirih
Waktu operasi pun tiba. Aku terus berdoa agar semuanya baik-baik saja. Dokter dan perawat berusaha mengajakku bicara, tidak lama aku mendengar suara tangisan bayi, aku berfikir bayiku akan diletakkan di dadaku, seperti saat aku melahirkan anak pertamaku. Tapi, ternyata tidak seperti yang ada dalam pikiranku.
“Dok, mana anak saya, anak saya selamatkan?” Tanyaku lirih
“Banyak-banyak berdoa Bu, anaknya perempuan dan langsung dibawa keruang perawatan karena terlahir prematur” jawabnya seraya mengusap pundakku.
Buliran air mataku mengalir begitu derasnya, mendengar penjelasan itu. Entahlah, aku harus bahagia atau bersedih. Disatu sisi aku bahagia karena jenis kelamin anakku perempuan sesuai dengan harapanku. Tapi, saat itu aku juga takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada bayiku.
Operasi berjalan lancar, aku sudah dipindahkan ke ruang rawat. Suamiku menghampiriku.
“Kamu hebat mah, anak kita perempuan, cantik” ucapnya, ada senyum mengembang di bibirnya tapi ada pula air mata yang tertahan dipelupuk mata suamiku.
“Ayah udah melihat anak kita?” Tanyaku
“Sudah mah, tadi sambil aku adzani” jawabnya
Setelah aku merasa kondisiku mulai membaik, aku meminta izin suster untuk melihat anakku.
“Sust, aku boleh melihat anakku?”
“Oiya tentu boleh Bu, sekalian coba berikan ASI ya Bu. Tapi, jangan terlalu lama, karena yang kami takutkan, suhu tubuhnya tidak kuat. Bayi ibu kecil sekali, Berat badannya 1,4 kg” jawab suster seraya menjelaskan dan memberikan bayi mungil itu kepangkuanku.
Ya Tuhan…. Bayi ini kecil sekali, kepalanya tidak lebih besar dari kepalan tanganku. Kulitnya keriput. Aku mencoba memberikan asi. Tapi, sepertinya bayiku belum mampu untuk menghisapnya.
Satu Minggu berlalu setelah melahirkan. Aku diperbolehkan pulang, tapi tidak dengan anakku. Gadis mungil itu masih butuh pengawasan medis.
Sebelumnya, aku membayangkan, sesampai di rumah, aku bisa menggendong dan mendengar tangisan-tangisan bayiku. Tapi kenyataannya, aku pulang dengan tangan kosong dan melihat seisi rumah yang sepi.
Malam pun tiba, aku merasakan tubuh ini semakin lemah, tidak terasa aku tertidur pulas. Tiba-tiba, aku merasakan rasa haus, lalu aku terbangun.
Aku terhenyak kaget, berkali-kali aku mengucek-ucek kedua bola mataku. Aku membuka mata perlahan, mencoba mengamati seisi ruangan. Tapi, pandanganku gelap. Aku hanya melihat bayangan hitam yang tertidur disampingku, ia adalah suamiku.
Aku menangis menjerit membangunkan suamiku.
“Ayah.. ayah.. bangun, mataku gelap, aku tidak bisa melihat.
“Mah kamu kenapa?” Jawabnya panik.
“Ya Allah dosa apa aku ini, sehingga ujian ini datang bertubi-tubi dan begitu cepat. Kamu sabar mah, besok, kita periksa sebenarnya apa yang terjadi” ucap suamiku.
Pagi pun tiba, aku masih berharap kejadian semalam hanyalah mimpi buruk. Tapi, ini nyata, aku mencoba keluar kamar, berjalan perlahan, terdengar suamiku memanggilku.
“Mah, kamu mau ke kamar mandi, sini aku bantu”ucap suamiku.
“Iya” jawabku singkat
“Sini aku rapihkan bajumu, setelah ini kita langsung ke rumah sakit ya”.
Aku merasa hidupku sudah tidak ada artinya lagi, aku merasa sudah tidak berguna. Sekedar ke kamar mandi saja aku harus dibantu. Lalu, bagaimana aku merawat anak-anakku.
Kami pergi ke rumah sakit mengendarai sepeda motor. Ada rasa perih pada bekas sayatan dipertuku. Belum lagi, mataku yang buta dan nasib anakku yang masih berada didalam inkubator.
Setalah sampai di IGD, aku langsung dimasukan keruang tindakan. Tensiku melonjak 230/140, mungkin karena aku terlalu stres dengan apa yang sedang aku alami saat itu.
Setelah berbagai obat dan pemeriksaan, terdengar percakapan suamiku dengan seorang dokter.
“Dok, sebenarnya apa yang terjadi dengan istri saya?” Tanya suamiku
“Istri bapak kondisinya sangat mengkhawatirkan. Tensinya tinggi sekali, ini yang menyebabkan jantung dan retina matanya bengkak, sehingga ia buta.
“Tolong lakukan yang terbaik dok, selamatkan istri saya” ucapnya penuh harap.
“Pasti pak, kami akan lakukan yang terbaik, banyak berdoa ya pak, ibu harus dirawat di ruang ICU” jawab seorang dokter.
“Separah itukah?” Sambung suamiku
“Ini demi kebaikan istri bapak” tegasnya
Suamiku menyetujui saran dokter, tiga hari aku dirawat di ruangan yang menyeramkan itu, yang tidak pernah aku temui sebelumnya. Suatu malam aku mendengar suara jerit tangis dan doa-doa. Entahlah, aku tidak bisa melihat wajah mereka.
Aku melihat bayangan hitam menghampiriku, itu pasti suster pikirku.
“Suster, itu ada apa ko ramai sekali, seperti banyak orang menangis?”
“Oooh.. itu Bu ada yang meninggal lagi, ini yang ketiga pasien meninggal di ruangan ini dalam satu malam.” Jawabnya
“Ya Allah perasaanku semakin takut, pokoknya, besok aku harus keluar dari ruangan ini” Gumamku
“Suster aku mau pindah ruangan, aku takut disini. Bagaimana bisa tensiku membaik, sementara aku tidak nyaman berada disini”
“Besok pagi, ada kunjungan dokter jantung, silahkan ibu konsultasikan langsung ya, karena hanya beliau yang bisa memutuskan ibu harus tetap disini atau bisa dipindahkan ke ruang rawat.
Seminggu sudah aku dirawat setelah mengalami kebutaan. Tapi, tak ada perubahan sedikit pun. Akhirnya, aku diperbolehkan pulang, walau mataku tak kunjung membaik.
Kabar bahagia yang aku terima saat itu, adalah kepulangan putri kecilku. Dua Minggu sudah ia berada didalam inkubator. Gadis mungil yang lahir pada 03 Februari 2016 dengan BB 1,4kg, yang aku beri nama Syakira yang artinya bersyukur.

Hatiku sangat bahagia, itu artinya kondisi anakku sudah membaik. Tapi, dalam hati aku berfikir, bagaiman bisa aku merawat bayiku yang prematur dan butuh pengawasan ekstra dalam keadaan mataku yang buta.
Ibu mertua dan anak laki-lakiku menyambut kepulangan ku.
“Mama, dedenya kaya anak ayam” seru anak laki-lakiku dengan polosnya.
Aku tersenyum “Doain adek bayinya biar cepat gede dan sehat ya bang” jawabku
Hari demi hari aku lalui dengan segala keterbatasanku. Sebisa mungkin aku berusaha merawat anak-anakku dan tidak ingin terlalu membebani mertuaku.
Banyak kejadian pilu yang aku alami dengan kondisi mataku yang buta. Mulai dari tumpahnya air panas ditanganku ketika aku berusaha membuatkan susu untuk anakku, mandi dengan air yang kotor, duduk dikerumuni semut-semut, tersandung ketika aku berjalan. Terlebih aku tidak bisa melihat orang-orang yang aku sayangi. Ah masih banyak lagi
Tiga bulan sudah berlalu. Aku merasa tidak ada perubahan. Padahal, aku sudah rutin cek-up ke dokter spesialis mata yang ada di rumah sakit besar di Jakarta.
Suamiku tergerak untuk menelpon kakakku di kampung. Dia menceritakan kondisi burukku. Kakakku menyarankan untuk aku melakukan pengobatan alternatif.
Lagi-lagi aku harus berpisah dengan suami dan anak-anakku. Aku berusaha menguatkan hati karena aku ingin sembuh.
Pengobatan yang aku lakukan yaitu merendam sirih merah dengan air hangat, dibantu doa-doa seseorang yang cukup terkenal bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit dikampung itu. Selama tiga hari berturut-turut.
Perjuanganku tidak sia-sia, pengobatan yang aku jalani membuahkan hasil yang sangat baik. Mataku kembali normal dan aku bisa melihat lagi indahnya dunia ini.
“Ka, mataku sembuh, aku bisa melihat lagi” aku memeluk kakakku dan mengucapkan rasa terima kasihku.
Tak sabar aku ingin segera menyampaikan kabar baik ini kepada suamiku. Aku ambil gawai untuk menelponnya.
“Ayah, jemput aku, aku sudah sembuh yah, mataku bisa melihat lagi.” Ucapku girang.
“Alhamdulilah ya Allah, sepulang kerja ayah langsung jemput kamu ya mah” suamiku mengucap syukur
Aku seperti membuka lembaran baru, kebahagiaan nyaris didepan mataku. Putri mungil itu tumbuh sehat dan cantik. Tubuhnya sudah terlihat gemuk, pipinya yang gembil dan menggemaskan. Aku bisa melihat tingkah lucunya.
Satu Setengah Tahun Berlalu
Tepatnya 12 Juli 2017 yang lalu, aku divonis gagal ginjal stadium terminal atau stadium akhir. Tidak ada kata-kata yang terucap saat itu, hanya buliran air mata yang mewakili perasaanku. Dunia ini serasa runtuh dan berhenti berputar, bayang-bayang kematian nyaris didepan mata. Vonis itu menggubur mimpi-mimpi yang belum aku gapai. Hidupku seperti kehilangan arah. Entahlah bagaimana aku melanjutkan hidupku setelah ini. Pikirku
Selama dua minggu, aku merasakan tubuh ini rasa tak karuan. Tekanan darahku tidak terkontrol, selalu diangka 210/140. Berat badanku dalam dua minggu ini menurun drastis hingga 12 kg. Seluruh tubuhku gatal. Sebelumnya, aku berfikir ada masalah dengan air, sabun, atau lotion, hingga berkali-kali aku mengganti produk yang aku gunakan saat itu. Tapi, rasa gatal semakin menjadi-jadi. Ternyata rasa gatal itu disebabkan ureum atau racun dalam darah yang semakin menumpuk. Tidak lama, mata, pipi dan tanganku juga bengkak. Karena penumpukan cairan dalam tubuh. Itu semua dikarenakan ginjalku yang sudah bermasalah.
Suatu hari, aku memeriksakan sakitku disebuah klinik. Diagnosa awal penyakitku adalah asam lambung dan dokter meresepkan obat lambung untuk mengurangi mual. Tapi, mual, muntah tak kunjung reda. Jangankan makanan, air putih saja, perut ini seperti tidak mau menerima.
Untuk kedua dan ketiga kalinya, aku kembali ke klinik yang sama, namun ditangani oleh dokter yang berbeda. Lagi-lagi dokter mengira asam lambungku naik. Dokter menyarankan aku untuk test laboratorium, karena saat itu suhu tubuhku panas, demam hingga menggigil.
Setelah aku melakukan test laboratorium. Kesimpulan dokter, aku juga terkena tipes dan menyarankan aku untuk memeriksakan lebih lanjut, jika dalam tiga hari tidak juga ada perubahan.
Semakin hari, aku merasa kesehatanku semakin memburuk. Jangankan melakukan aktifitas berat, berjalan ke kamar mandi saja sudah lelah. Sisi kanan dan kiri perutku terasa sakit sekali.
Malam itu, aku pergi ke RSUD terdekat dari tempat tinggalku. Ternyata, setelah melakukan test lab HB ku sangat rendah, hanya diangka enam, yang seharusnya, kadar HB normal bagi pria, umumnya 13,8 sampai 17,2 g/dl, sedangkan untuk wanita adalah 12,1 sampai 15,1 g/dl.
Akhirnya, tepatnya jam sebelas malam, aku dirujuk kembali ke rumah sakit besar yang ada di Jakarta menggunakan ambulance. Diiringi dengan suara guntur menggelegar, kilatan cahaya, hembusan angin kencang, berlanjut rintikan hujan yang mulai turun dengan derasnya dan suasana malam yang cukup mencekam. Aku terbaring lemah didalam mobil ambulance ditemani suamiku.
Tidak pernah terpikir sedikitpun, dokter akan memvonisku penyakit seberat ini. Rasa tak percaya, depresi, kecewa, marah menjadi satu.
Sembilan hari aku dirawat di rumah sakit. Keadaanku semakin membaik. Itu karena racun dan cairan berlebih yang ada dalam tubuhku sudah berkurang karena tindakan cuci darah. Tapi, bukan berarti aku bisa lepas dari itu. Jika seseorang sudah divonis gagal ginjal stadium akhir. Maka, seumur hidupnya tidak akan terlepas dari mesin cuci darah.
Kenapa gak berhenti saja, toh badan sudah enakan?
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peran sangat penting. Berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya melalui urine. Sementara ginjal pada pasien cuci darah sudah rusak. Otomatis ginjal sudah tidak lagi berfungsi dengan normal. Bahkan, semakin lama fungsinya akan hilang yang menyebabkan pasien tidak lagi bisa BAK (Buang Ari kecil). Oleh karena itu, pasien cuci darah sekedar air putih / cairan saja dibatasi. Dokter hanya menyarankan kita minum 600ml/hari. Gagal ginjal tidak bisa disembuhkan. Namun, ada terapi yang bisa dilakukan penderita, yaitu hemodialisis/cuci darah, CAPD/cuci darah mandiri dan transplantasi ginjal.
Ketiganya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Aku merasa hidupku sudah tidak berarti lagi. Tiga bulan lamanya aku mengurung diri. Hidupku seperti kehilangan arah. Aku merasa semua yang aku miliki sudah tidak berarti lagi.
Aku menangis meraung-raung ketika suamiku menyentuhku. Aku merasa sudah tidak pantas dan minder. Aku malu dengan kondisiku. Apalagi saat itu ada selang CDL (akses cuci darah) yang terpasang dileherku. Aku semakin tidak percaya diri. Tapi, aku bersyukur suamiku mau menerima aku apapun keadaanku.
“Aku akan selalu menemanimu dalam sehat dan sakitmu, kamu harus semangat demi aku dan anak-anak kita”
Kata-kata itulah yang menguatkanku. Menjadi alasan untuk aku terus berjuang dalam sakitku. Kuatkan aku, demi mereka buah hatiku. Kata-kata itu selalu ada dalam doa-doa ku.
Suatu hari aku menemukan komunitas ginjal, aku berusaha mencari tau dan ikut dalam komunitas itu. Ternyata aku tidak sendiri, aku menemukan orang-orang hebat. Mereka tatap semangat dan terus berjuang dalam sakitnya. Semangatku mulai tumbuh, banyak pelajaran yang bisa aku ambil dan aku mencoba menepis bahwa hidup pasien cuci darah tidak akan bertahan lama. Toh banyak buktinya mereka masih produktif meski dengan segala keterbatasan.
Teman-teman semua sayangilah organ tubuh kita sebelum terlambat. Tidak mudah menjadi kami, pasien cuci darah. Tusukan jarum, obat-obatan, bahkan meja operasi, sudah tidak asing lagi bagi kami. Belum lagi banyak hal yang menyita waktu kami hanya sekedar urusan rumah sakit. Dua kali dalam seminggu cuci darah kami lakukan untuk memperpanjang hidup kami. Hidup kami bergantung dengan mesin. Bosan, jenuh, lelah terkadang kami rasakan. Tapi. Inilah takdir Tuhan yang sudah digariskan dan harus kami jalani.
Penyumbang terbesar gagal ginjal adalah hipertensi dan diabetes. Kurangi garam, gula, minuman kemasan, perbanyak makan sayur buah dan jangan lupa air putih yang banyak. Karena ketika sudah menjadi kami pasien cuci darah. Semua sudah berbeda, sekedar air putih saja dibatasi, sayur dan buah yang seharusnya menjadi makanan yang menyehatkan. Tapi, tidak untuk kami. kandungan kalium yang berlebih bisa beresiko karena ginjal kami yang sudah rusak.
Sesunggguhnya hal yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Namun, kita tidak pernah tahu, kapan dan dengan cara apa Tuhan mengambilnya. Karena syarat mati tidak harus sakit.
Ketika orang sehat memiliki ribuan keinginan, orang sakit hanya memiliki satu keinginan yaitu sembuh.
Tapi, Gagal Ginjal bukan berarti Gagal Hidup. Terus semangat!
Salam sehat, salam sejahtera