Yayuk: Gagal Naik ke Pelaminan Karena Gagal Ginjal
Belum ada lamaran, apalagi ijab kabul. Tetapi, sudah bisa dibilang sebuah proses pacaran yang serius. Sang pria sudah sering mengutarakan niatnya kepada orang tua sang perempuan, tentang masa depan mereka untuk berumah tangga.
Sang perempuan sudah berbunga-bunga hatinya. Cepat atau lambat, mimpinya untuk bersanding dengan sang pacar akan tercapai. Tinggal tunggu waktu lamaran resmi datang. Dan tentu saja penghulu yang akan menyatukan perkawinan suci mereka berdua.
Di tengah penantian itu, datang musibah yang tak bisa ditolak. “Aku dinyatakan gagal ginjal karena faktor tekanan darah tinggi. Susah aku menerima kenyataan ini,” ujarnya mengawali pembicaraan dengan ku di telpon.
Perubahan kesehatan perempuan itu membuat hati sang pria juga berubah. Sang pacar menuntut sang perempuan untuk sembuh dan tidak cuci darah lagi. “Aku sudah berusaha sembuh. Tapi mana bisa gagal ginjal yang sudah cuci darah bisa sembuh? Syarat itu, sama saja ingin menggagalkan rencana perkawinan kami,” ujarnya dengan nada jengkel.
Pacar keduanya juga begitu. Hampir punya rencana menikah, keluarga laki-laki menentang karena alasan sang perempuan gagal ginjal. “Gagal ginjal bagiku bukan gagal hidup. Cuma gagal menikah,” ucapnya dengan tertawa di ujung telpon.
Karena aku tak bertatap muka langsung dengannya, aku tidak bisa menduga dia tertawa lepas atau tertawa untuk sekedar menutupi kisah hidupnya yang pilu. Tapi, dari akun media sosialnya aku sering membaca unggahan yang suka ceplas-ceplos. Pertanda dia ringan saja menjalani hidup.
Ketika kutanya apakah akunnya bernama Yayuk Praditya itu apa nama aslinya? Ia jawab namanya memang Yayuk. “Praditya itu nama anak ku satu-satunya. Dia sudah delapan tahun meninggalkan aku untuk selamanya,” ungkapnya kini dengan nada sendu.
Lumayan lama Yayuk tidak berbicara. Sedangkan aku juga tidak berani bertanya lagi. Tapi, tak lama kemudian, Yayuk menyelamatkan suasana yang hening itu dan ia pun melanjutkan ceritanya.
“Aku janda Pak. Saat menikah, usiaku 21 tahun. Aku tak pernah merasakan indahnya berumah tangga. Satu tahun kawin kami pisah ranjang lima tahun,” ujarnya kini dengan terbata.
Walau bicaranya agak tersedat, perempuan yang masih terlihat cantik walau sudah cuci darah lima tahun ini, tetap melanjutkan ceritanya. Katanya, beberapa bulan setelah menikah, suaminya di PHK. Giliran Yayuk yang diterima bekerja di kota.
“Orang-tua ku tidak suka suamiku menganggur. Aku tetap mempertahankan perkawinan itu. Mungkin rejeki sedang mengalir ke tanganku,” ujarnya.
Setahun kemudian, setelah Yayuk hamil dia cuti dari pekerjaan. Justru suaminya tidak tinggal bersamanya. “Aku ke rumah orang tua ku, dia ke orang tuanya. Bahkan kemudian dia menghilang entah kemana,” ungkapnya dengan nada kesal.
Menurut penuturannya, saat anaknya lahir suaminya tidak disampingnya, bahkan sampai tumbuh besar. “Aku yang bekerja pontang panting menghidupi anak ku. Padahal, jarak tempatku bekerja 40 km dari desa ku. Terpaksa aku kos dan anak kutinggal,” ucapnya kini dengan nada agak tinggi.
Ketika mendapat kabar putranya sakit, seketika itu juga Yayuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. “Aku hanya diberi kesempatan dua hari oleh Tuhan untuk merawat anak ku. Dia meninggal. Hatiku hancur saat itu. Dia adalah penyemangat hidupku,” ujarnya kini dengan menangis.
Tak terdengar lagi kata-katanya. Hanya tangisan Yayuk saja yang terdengar. Aku meminta maaf, karena wawancara ini, membuat dia harus bersedih kembali.
**
Menata Hidup
Bagi Yayuk, anak adalah segalanya. Delapan bulan berikutnya, dia bercerai dengan sang suami. “Dulu aku mempertahankan rumah tanggaku karena demi anak. Dia sudah pergi, tidak ada alasan lagi bagiku untuk mempertahankan rumah tangga yang sudah hancur itu,” ucapnya kepadaku setelah beberapa hari tak berkomunikasi lagi.
Yayuk kemudian menata lagi kehidupannya yang sudah hancur berkeping-keping itu. Ia putuskan bekerja kembali. Tapi, kehancuran hatinya tetap tidak bisa dia singkirkan. “Banyak pikiran dan suka makan minum yang instan malah membuat tensiku tinggi. Dan tahu-tahu ambruk, harus cuci darah,” ungkapnya.
Yayuk lantas pulang ke rumah. Keluarganya, baik kakak dan ibunya yang merawat dan membiayai hidup Yayuk. Hanya bertahan dua tahun, kakaknya kemudian menikah. Karena punya tanggungan keluarga, dia menghentikan bantuan keuangan ke Yayuk.
“Lama-lama aku juga nggak enak minta duit ke orang tua terus. Aku memutuskan usaha sendiri. Kebetulan di desaku berada di dekat dengan pantai dan dikelilingi tambak bandeng. Aku membuat makanan olahan dari bandeng menjadi nuget, otak-otak, dan bonggolan,” ujarnya penuh semangat.
Yayuk menjualnya secara online. Kalau kita berteman dengannya di facebook maka akan sering membaca postingannya menawarkan makanan olahan dari ikan bandeng.
Dalam waktu tiga bulan dia sudah membeli motor baru. “Sekarang kalau aku cuci darah tidak perlu pinjam motor kakakku. Aku juga bisa antar nuget, otak-otak, bonggolan ke pemesan dengan naik motor,” ujarnya dengan penuh semangat.
Pernah pagi hari aku menghubunginya lewat pesan WhatsApp (WA). Astaga, jam setengah empat pagi dia sudah berangkat diantar ibunya naik motor menuju RSUD Ibnu Sina, di Kota Gresik. Padahal, tinggalmu di desa Pangkah Wetan, Pelabuhan. Katamu, jaraknya mencapai 60 km, waktu tempuh dua jam lamanya. Katamu juga jalannya banyak yang rusak. Kalau naik angkot kamu bilang bisa ganti sampai lima kali.
“Sampai di rumah sakit pukul setengah enam pagi. Sudah dilayani untuk shift pertama. Ada empat shift, dan hanya empat jam HD-nya (hemodialisa),” tulismu.
Katamu juga, pukul 12 siang sudah sampai rumah dan tidur siang sampai pukul empat sore . “Aku lanjut ngurir pak. Pulang ke rumah pukul 9 malam,” ungkapnya dengan nada enteng.
Kurir yang dimaksud Yayuk adalah mengantar pesanan. Dari desa ke desa, bahkan sampai ke kota Gresik. Diantar tanpa ada ongkos kirim, itu istimewanya katamu.
Pernah aku telpon dia sedang nguriir. Ia sedang berteduh karena kehujanan. Yayuk mengatakan dengan nada bercanda kalau dia baru saja minum air hujan. Dan katamu itu sering terjadi ketika mengirim barang pesanan di tengah jalan kehujanan.
Pagi harinya aku buka WA lagi, ternyata jam setengah tiga dini hari baru selesai mengerjakan membuat nuget. Dia bilang bangun pukul dua belas malam. Aku geleng-geleng kepala, karena paginya dia cuci darah. Hampir setiap hari begitu. Dan lebih kaget lagi, jam enam pagi dia sudah harus berangkat antar pesanan, kalau tidak sedang cuci darah.
Ketika kutanya apa tidak capek? Ia jawab sudah biasa. Katanya pula dia jarang sakit atau opname, kecuali awal-awal HD.
“Baru sebulan lalu aku ke IGD karena drop, lihat ibu dan bapak ‘berantem’. Aku menolak opname karena ingat ada pesanan yang belum diantar. Aku nekad pulang dan ambil motor untuk antar pesanan ke pelanggan,” ujarnya dengan tertawa.
Tuhan telah mendewasakannya dengan cara yang dashyat. Menjadikan Yayuk perempuan yang kuat dan mandiri. Tanpa anak, tanpa suami. Hanya emak-nya yang tetap setia mendampinginya kemana dia pergi.
Kegagalan demi kegagalan dalam usaha mencari jodoh, memberi pembelajaran kepada dirinya kalau jodoh itu ada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak jodoh itu akan datang.
*Ciganjur yang sepi karena anak-anak pergi keluar rumah. Pelampiasan penat setelah seminggu UAS.
Oleh: Peter Hari (Sekretaris Jenderal KPCDI)