Kisah Pasien Gagal Ginjal Berjualan Papeda untuk Penuhi Kebutuhannya

Kali ini postingan di facebookmu bercerita tentang sakitmu. Kamu katakan sudah  bisa mandi,  setelah terkapar enam hari di tempat tidur. Kau tulis awal bulan Oktober kemarin.

Kutanya kenapa kamu masuk rumah sakit? Kau jawab kata suster tubuhmu kecapek-an. Selama cuci darah, tubuhmu demam, tensi pun anjlok.

Sempat pulang opname, tapi beberapa hari kemudian masuk rumah sakit kembali. Kau kirim foto dirimu yang sedang tak berdaya. “Saya batuk-batuk dan sesak nafas. Mungkin ada air di paru-paruku,” tulismu lewat pesan WhatsApp ke aku.

Benar-benar kini pria bernama Agustinus Hartoyo tumbang. Selama lebih dari dua tahun ini berteman denganmu tak pernah kulihat dirimu sakit. Justru yang kulihat postinganmu penuh dengan aktivitas kerjamu.

Agustinus Hartoyo saat dirawat dan dikunjungi para sahabat

Sebagai penyandang Gagal Ginjal kamu pantas diberi predikat pekerja keras. Kerja, kerja dan kerja mungkin filosofi hidupmu.

Lihat saja, puluhan foto  dirimu sedang keliling berjualan papeda, kau unggah berkali-kali di dinding facebookmu.

“Jam enam pagi saya sudah berangkat. Pagi hari saya jualan di sekolah,  sampai Pukul 12.00 siang. Setelahnya tidur siang dulu, Pukul tiga sore keliling lagi dengan sepeda Motor Shogun butut ku untuk mengejar lagi rejeki. Demi menyambung hidup mas,” ujarnya ke aku.

“Kalau pas jadwal cuci darah bagaimana dengan  jualanmu?”  tanyaku.

“Ya tetap jualan. Tapi, hanya sampai Pukul 5 (lima) sore. Setelah mandi, aku langsung berangkat ke rumah sakit untuk cuci darah. Aku ambil yang shift malam,” jawabnya.

Agustinus Hartoyo saat berjualan papeda ke sekolah-sekolah

Mendengar cerita ini badanku langsung sakit semua. Membayangkan tubuhku melakukan pekerjaan seperti dia. Rasanya, aku tidak mempercayai semua penuturannya. Dalam pikiranku, mana mungkin pasien cuci darah bisa sekuat itu?

Di siang hari, sengatan sinar matahari tentu saja panas sekali. Membuat tubuh haus, mau minum banyak tapi dilarang. Belum lagi kalau kehujanan.

Kalau aku, sedang HB rendah atau badan loyo, keluar rumah saja malas. Apalagi harus jualan di udara terbuka, dan sabar melayani anak-anak kecil, yang menjadi langganan setia papedanya.

Pernah Om Amron Trisnadi di Facebook bertanya, berapa uang yang diterimanya kalau mampu menghabiskan tiga puluh butir telur burung puyuh?

“Puji Tuhan, saya mendapat duit tiga puluh ribu rupiah,” jawabnya dengan senang hati.

Lalu Om Amron bersimpati  dan langsung minta dibungkuskan papeda yang membutuhkan sebanyak 100 butir telur.

Pernah kau mengatakan di tanganmu hanya ada uang Rp. 500,-. “Mana receh semua. Untung bumbu dan telur masih ada. Semoga laris dan jadi uang ya?” tulis kamu lagi di linimasamu.

Bila rejeki datang, dan kamu begitu kelelahan dan kehausan, kamu lantas mampir ke angkringan. Segelas es teh dan nasi di warung khas daerah Klaten dan Yogyakarta itu, sudah mampu memuaskan dirimu.

Tapi kamu sangat mencintai profesimu ini. Kau tuturkan bahwa berjualan makanan keliling ini sudah dirintis sejak 2012, saat ada pemilihan lurah di Wedi, Klaten, tempat kampung halamanmu.

“Awalnya diberi modal sama emak seekor ayam kampung betina. Lalu kujual, laku Rp. 35 ribu. Itu modal awalku jualan sosis bakar,” kenangnya.

Beralih kemudian ke papeda karena ada teman sesama pasien cuci darah mengajarinya. Pernah jaga rental komputer dan playstation sambil jualan es dan papeda.

“Selama satu tahun kujalani. Hasilnya bisa buat beli sepeda motor shogun,” ucapnya dengan nada bangga.

Kamu hijrah ke Yogyakarta awal tahun ini, untuk berkolaborasi dengan temanmu membuka ‘Warung Sambel Welut”. Kau beri nama Eco, yang artinya nikmat.

Warung sambel welut itu lantas sering jadi tempat mampir para pasien cuci darah, karena kau pandai mempromosikan lewat facebookmu.

Obaja, seorang pasien cuci darah dari Jepara Jawa Tengah, pernah mampir di warung mu. Katanya, dia cukup lama ngobrol denganmu.

“Mas Hartoyo itu sangat survival orangnya. Setia kepada teman. Aktif di acara HGM (Hidup Ginjal Muda), di mana ada acara dia selalu ingin ikut,” ujar anak muda pekerja film ini.

Sayang, katamu kini warung tutup. Justru kesulitan mendapat bahan baku welut, yang menjadi andalan menu warungmu. Ketika kutanya kapan buka lagi, kamu jawab entahlah, mungkin kalau ada modal.

Lantas kamu pulang kampung. Pulang  ke Wedi Klaten lagi. Jualan papeda lagi.

“Tapi kini saya istirahat dulu. Badan masih hancur-hancuran selepas sakit kemarin,” ujarnya ketika pulang dari cuci darah di salah satu Klinik Hemodialisis Yogyakarta yang dilaju dari Klaten dengan menggunakan sepeda motor.

Berpisah Dengan Keluarga

Yang paling ditakuti bapak satu anak ini, saat di mana dia melamun dan tidak ada aktivitas yang dikerjakan. Lantas, dia akan teringat putra satu-satunya.

“Tadi siang aku bermimpi ketemu kamu. Tapi kamu di bawa pergi lagi oleh mama kamu. Serasa ketemu beneran, dan kangenku terobatii. I Love You, anaku Fajar,” tulisnya di linimasa Facebooknya.

Ada yang menganjurkan dirimu untuk menemui anak mu. “Aku sudah berpisah dengannya enam tahun lamanya. Aku tak tahu di mana dia berada,” jawabmu.

Aku beranikan diri bertanya tentang hal ini kepadamu. Kamu lama menjawab pertanyaanku. Mungkin ragu? Atau mungkin sedang mengumpulkan energi? Atau juga menyiapkan keberanian untuk menceritakan masa lalumu?

“Aku menikah tahun 2000. Setahun berikutnya, tepatnya 26 November 2001, Fajar lahir. Saat itu kami tinggal di Slipi (Jakarta Barat),” ujarnya lirih di ujung telpon.

Tahun 2009,  bapak pemeluk Khatolik yang taat ini terkena gagal ginjal. “Saya nggak ada uang, pulang ke rumah simbok. Tabungan simbok, kambing, dan barang berharga lainnya dijual untuk biaya cuci darah dan mondok di rumah sakit,” ungkapnya.

Lantas aku membayangkan saat itu belum ada BPJS Kesehatan, tentu sangat berat membiayai cuci darah. Orang Jawa bilang kalau Hartoyo masih bejo. “Untungnya tak berapa lama aku dapat Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah),” ujarnya.

Bahkan, tahun 2010 ia diboyong istrinya ke Bogor. Katanya, dekat dengan rumah mertua. Walau tak kerja karena kesehatan Hartoyo menurun, tapi mantan bos-nya, orang Korea berbaik hati. Setiap tanggal sepuluh mengirimkan uang kepadanya.

“Sampai dua tahun dia membantu keuangan saya, padahal saya sudah nggak bekerja sebagai sopirnya. Aku mengalami acites (penimbunan cairan di rongga perut)  begitu parah. Empat kali berturut-turut berhalangan cuci darah. Beratku naik 25 Kg. Sampau pungsi (sedot cairan) 3 (tiga) kali,” ungkapnya semakin lirih.

Malapetaka mulai menghinggapi keluarganya, ketika mantan bos-nya pulang ke Korea. Ekonomi keluarganya tumbang. Sang istri menjadi tulang punggung keluarganya.

“Aku nggak tega melihat istriku menjadi pemulung. Setiap hari dia harus memanggul barang rosokan seberat 50 kg di atas kepalanya. Kadang pulang sehabis magrib,” ujarnya kini dengan nada menangis.

Saking tak teganya Hartoyo pernah sujud kepada Tuhan dan mengatakan apakah lebih baik dia mati daripada istrinya menderita merawat dia.

“Aku tidak tega anak dan istriku makan nasi garam. Kadang masak nasi kuning, hanya dengan kunyit saja, tanpa memakai santan. Sungguh tidak enak rasanya,” ucapnya.

Tangisnya semakin kentara ketika Hartoyo mengatakan ada kejadian yang membuat hatinya sakit. Saking sakitnya dia harus meninggalkan sang istri dan anak.

“Dalam perjalanan pulang aku berdoa “Bapa Kami”. Kiranya ampuni orang yang bersalah kepada kami. Aku berdoa agar istriku dan anak ku berbahagia. Hidup dengan lelaki yang sehat jasmaninya,” ujarnya masih dengan tangisnya.

Lama tak ada suaranya. Dan akupun tak berani bertanya lagi.

Menata Hidup

Di kampung dia mulai menata hidup. Dimulai dengan latihan berjalan. Sakit yang dideritanya, sampai membuat dia ngos-ngos-an berjalan, walau itu hanya sepuluh langkah.

Hidup dengan orangtuanya, tak lantas dia ongkang-ongkang kaki. Mulai dia berjualan dengan modal menjual ayam kampung seharga Rp 35 ribu.

Semangat kerjanya sungguh luar biasa. Baginya, yang penting selalu ada ongkos saat dia hendak pergi cuci darah.

Bekerja juga membuat dia melupakan derita hidupnya. Kini, hanya ada satu keinginan yang ingin dia capai. Bertemu dengan Fajar, sang putra satu-satunya.

“Bila ketemu aku akan memeluk dia. Pasti dia sudah lebih tinggi dariku. Aku ingin katakan bahwa aku sangat mencintainya. Tidak ada maksud jahat meninggalkannya,” ungkapnya.

Sungguh aku bisa merasakan kerinduannya lewat getaran kata-katanya. Kerinduan selama 6 (enam) tahun ini. Kehidupan yang sungguh berat karena sebagai pasien cuci darah menjalani semuanya sendirian tanpa anak dan istri.

Agustinus Hartoyo adalah semangat hidup. Sudah kau buktikan berani menjalani hidup selama 9 (sembilan) tahun ini sebagai pasien gagal ginjal. Hidup sebagai pasien cuci darah adalah keberanian hidup dengan penderitaan, kesakitan dan keiklasan.

Semoga kebahagian hidupmu dengan bertemu Fajar segera dapat terwujud.

 

*Ciganjur, yang sudah memasuki musim hujan

Oleh: Peter Hari

Leave a Reply