Pelari Maraton Itu Sudah Berginjal Tiga

Rasanya, tak ada figur pasien cuci darah yang bisa menandingi Bapak satu ini. Terlalu banyak kelebihan yang melekat pada dirinya. Hampir semua pasien GGK (Gagal Ginjal Kronik) yang aktif di Facebook pasti mengenal dia, sekaligus mengidolakannya.
Sulit rasanya menjumpai pasien yang bernama Hardono Arivianto ini, walau sudah cuci darah dua tahun lebih masih rutin berolah raga. Tak tanggung-tanggung dia mencintai lari maraton. Beberapa kali dia unjuk foto di halaman facebooknya ketika berhasil lari mengelilingi Stadion Utama Bung Karno.
Fisiknya masih prima. Tapi yang terpenting semangatnya untuk tetap bugar dengan tetap berolah raga patut kita acungi jempol. Kalau aku, atau sebagian besar pasien lainnya, hanya sekedar senam ringan dan jalan santai saja malas melakukannya.
Aku yakin Pak Hardono sama seperti pasien lainnya, sering capak dan letih, otot pegal linu, badan rasanya tidak karuan. Tapi, bapak dua anak ini memilih melawan semua keadaan itu.
“Yang rusak kan ginjal kita. Organ yang lain kan masih berfungsi. Mari kita jaga dengan berolah-raga. Gagal Ginjal bukan berarti gagal hidup,” ujarnya berkali-kali-kali di Facebook untuk memberi semangat pasien yang lain.
Ketika dia mengatakan akan ikut lomba lari maraton 10 kilometer pada PASEO Run 2018, di Bandung, sontak membuat banyak pasien tercengang. Lulusan Teknik Perminyakan Universitas Trisakti Jakarta ini memperlihatkan bagaimana keseriusannya menghadapi momen itu. Ia berlatih dengan tekun, karena tidak ada yang instan untuk meraih mimpinya tersebut.

Tekadnya yang luar biasa ini, membuat salah satu temannya Alma Almira Janitra dan suaminya mengabadikan lewat video pendek dan foto saat pria berusia 52 tahun ini menganyunkan langkah kakinya di jalanan beraspal di Kota Paris Van Java itu.
Sulit dipercaya bila melihat video yang diunggah di facebook tanggal 12 Agustus 2018, itu adalah pasien cuci darah yang berlari melawan ratusan orang sehat. Mampu menyelesaikan jarak sejauh 10 km. “Lomba lari maraton 10 km ini yang ketiga. Yang 5 km juga banyak,” ungkapnya dengan bangga.
“Saya sebenarnya ingin menunjukan ke pasien cuci darah lainnya kalau diri kita masih mampu berkegiatan lari santai seperti ini. Ini hanya masalah mau atau tidak,” ujarnya dengan ber-api-api.
Pekerja Tekun
Bagaimana ketika awal Pak Hardono divonis harus cuci darah? Apakah se-prima sekarang ini? Ternyata berkebalikan 180 derajat.
“Aku hanya bengong dan pasrah ketika dokter mengatakan diriku akan mati kalau tidak cuci darah. Aku semakin terpukul ketika tahu hal ini harus kulakukan seumur hidup,” ujarnya ketika aku wawancarai melalui pesan WhatsApp.

Bapak yang gemar berkata “joss gandos icik kiwir” ini, ternyata tiga bulan mengurung diri. Larut dengan penyakitnya dan menutup diri dari dunia luar.
“Untung aku diberitahu sobatku Lutfi Ibrahim (pasien cuci darah) agar aktif di komunitas. Kepercayaan diriku mulai tumbuh setelah ikut acara KPCDI sekitar bulan Desember 2016,” ungkapnya.
Sejak itu ia mulai masuk kerja lagi. Jabatan di tempatnya kerjanya adalah Sales and Development, menuntutnya harus berkeliling ke seluruh kantor cabang. Suatu ketika ada di Makasar, hari lainnya sudah ada di Batam dan Surabaya.
“Setiap bulan 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali harus keliling NKRI. Saya bertanggungjawab tim sales secara Nasional,” ujarnya.
Pekerjaan dengan berpergian keluar kota ini membuat dia sering cuci darah di luar kota juga. Untung sang istri tercinta yang sering dia panggil “suster cantik” setia menemani. “Anak-anak sudah gede dan bisa ditinggal. Wah kalau nggak ada suster cantik yang dampingi bisa repot “kuliah”-ku (cuci darah),” ujarnya dengan tertawa.

Malaikat Tanpa Sayap
Seminggu cuci darah dua kali, masih masuk kantor dan berkeliling ke berbagai kota. Masih pula aktif di komunitas. Itulah keseharian pria yang mudah akrab dengan siapa saja.
Setahun yang lalu, pria pengemar es teh manis ini didapuk menjadi Ketua KPCDI Cabang Tangerang Raya. Ia benar-benar menjadi motor di WAG Tangerang Raya, yang sekarang jumlah anggotanya sudah mencapai 100 orang lebih.
“Dia penyemangat hidup bagi kami semua,” ujar Ryan dan Ari ketika ditanya tentang figur Pak Hardono.
Dua pria yang masih muda sudah harus cuci darah itu, sangat merasakan manfaat bisa bergabung dengan komunitas yang dipimpin Pak Hardono.
Tak hanya piawai memimpin anggotanya di dunia maya, suami dari Agustina Kristianti Avirianto ini mahir juga bikin kegiatan.
Pada perayaan Hari Ginjal Se-dunia tahun ini, dia berhasil mengadakan acara penyuluhan hidup sehat bersama ibu PKK. Pak Hardono ketua panitianya, acara tersebut berhasil mengundang Walikota Tangerang Selatan, ibu Airin beserta Kepala Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, dr. Suhara
Benar-benar pertolongan yang datang tepat waktu, karena sudah dua Minggu calon suami perempuan itu kehilangan motor. Kehilangan motor sama saja kehilangan mata pencaharian. Terpaksa calon suami perempuan itu menjadi tukang cuci motor, bahkan jadi kenek.
Kini mereka berdua sudah bisa tertawa. “Akang sekarang sudah bisa ngojek lagi. Aku cuci darahnya juga sudah bisa diantar pakai motor,” ceritanya dengan rasa bersyukur.
Bagi Saidah Ida, Pak Hardono juga seperti malaikat tak bersayap bagi dirinya. Pak Hardono dan karibnya Pak Amron Trisnadi, berhasil memugar rumahnya.

Membuat kedua orang ini mengulurkan tangan untuk membantu Saidah Ida, yang kehidupannya serba terbatas. Ibu satu anak ini sudah lebih sepuluh tahun cuci darah. Sudah ada gangguan tiroid. Tubuh tumor di langit-langit mulutnya. Tulangnya juga sudah rapuh. Kalau cuci darah diantar sang suami menggunakan motor. Jarak tempuh pulang pergi ke RSCM sejauh 70 km.
“Awalnya mengganti tiang penyangga. Malah ambruk semua. Dengan bantuan paradermawan juga, akhirnya bisa memugar rumah itu,” ujar Amron sekaligus mandor pemugaran rumah Saidah.

Kata Saidah, kini dia tidak perlu takut hujan di saat tidur nyenyak. “Aku juga sudah tidak digigit tikus lagi,” ujarnya sambil bergumam mendoakan agar Tuhan membalas kebaikan Pak Hardono dan Om Amron.

Berjuang Untuk Hidup Baru
“Saya belum siap kehilangan suamiku. Walau hemodialisa dengan adekuasi akan memperpanjang umur, tapi aku kuatir semakin lama akan banyak terkena penyakit lainnya,” ungkap Tanti ketika ditanya kenapa mau menyerahkan ginjalnya buat sang suami.
Ibu dari dua anak bernama Genta (semester 7), dan Dzikri (SMA) ini lah yang aktif mendorong suaminya melakukan transplantasi ginjal.
“Saya sebenarnya yang maju mundur. Saya yang menolak tawaran Tanti. Biar saya saja yang sakit, dia jangan,” ungkapnya.
Banyak proses selanjutnya yang membuat pria berusia 52 ini berubah pikiran. Awalnya, mengikuti seminar awam transplantasi ginjal di RSCM, sekitar bulan Maret 2017.
“Saya sedikit- sedikit mulai membuka ruang lagi untuk melakukan eksplorasi tentang transplantasi ginjal.
Dan kebetulan saat kita berdua sedang konsul dengan dr Winarni, Sp.PD-KGH di RS Pusat Pertamina, saya bertemu dengan seorang bapak pensiunan pertamina. Ginjalnya masih bekerja normal walau sudah melakukan cangkok ginjal 20 tahun lalu,” kenangnya.

Pria yang murah senyum ini semakin mantap ketika mengikuti seminar yang diselenggarakan KPCDI awal tahun ini. “Aku takjub kepada Pak Leo Setiadi yang mendapat Rekor MURI. Ginjal pemberian adiknya bertahan sampai 36 tahun dan sehat-sehat saja. Demikian juga dengan adiknya tetap sehat setelah mendonorkan ginjal kepada Pak Leo, bahkan mampu memiliki anak,” tuturnya.
Mulailah pasangan suami istri ini memeriksakan diri. Sungguh berat medan yang harus tempuh. Soal waktu periksa saja sudah merupakan rintangan berat.
Jadwal cuci darah Pak Hardono di hari Rabu dan Sabtu siang. Pagi harinya dia tetap ngantor. Hari yang tersisa tinggal Senin, Selasa, Kamis, Jumat. Empat hari yang ada untuk pemeriksaan harus berebut dengan jadwal dia ke daerah. Belum lagi mengontrol kerja-kerja harian di kantor cabang.
“Sehari cuma bisa satu pemeriksaan. Dicicil, termasuk duitnya karena sekali periksa berkisar 1,5 juta sampai 2 juta. Aku bayar mandiri. Aku juga terkena Hepatitis c. Pengobatannya lama sekali,” keluh pria Jawa ini.
Butuh perjuangan selama setahun untuk pemeriksaan dan pengobatan pra operasi. Akhirnya Pak Hardono mendapat kesempatan untuk mendapat ginjal barunya.
Ginjal Ketiga
“Kita akan baik-baik saja. Yang sudah kita lalui, pada akhirnya untuk kita. Aku bangga kepada kita, tetap bekerja bersama untuk melalui semua ini,”
“Aku tahu kita akan baik-baik saja pada akhirnya. Dan aku berharap kamu percaya itu juga. Sebab bagaimanapun, segalanya akan menjadi keras/susah pada waktunya,”
“Itu hanya bagian dari sebuah hubungan. Dan aku percaya itu akan menjadikan diri kita semakin kuat untuk membawa kita tetap bersama. Dan solidaritas cinta kita satu sama lain akan baik-baik saja. Karena cinta kita kuat. Aku sungguh mencintaimu,” tulis Agustina Kristanti Arivianto, malam (24/9/2018) menjelang esok hari ginjalnya diberikan ke tubuh sang suami.
“Pukul 05.00 WIB, menjelang operasi, perasaanku gelisah. Untung keluarga segera datang, ada bapak dan ibu, serta anak-anak ku. Lantas kami berdoa dikamar 304,” ungkap Pak Hardono.
Menurut penuturan Pak Hardono, tepat Pukul 06.15 WIB, 2 kursi roda sudah ada didepan kamar, siap membawa mereka berdua ke ruang operasi gabungan.
“kami berdua nggak berhenti-henti takbir, tahmid dan tasbih. Memasrahkan diri kepada Yang Kuasa sepasrah-pasrah-nya,”
“Detik-detik akhir sebelum masuk ruang operasi, kami berdua duduk bersebelahan, bergandengan tangan sambil mendengarkan seorang ustadzah memberikan wejangan dan doa. Kami Amin kan semua. Tanti pertama masuk, tidak lama kemudian saya,” ungkapnya saat detik-detik yang menegangkan itu.
Menurut penuturannya, masuk ruang operasi pukul delapan, pukul tiga sore sudah siuman. “Saya siuman karena dipanggil, langsung mengucapkan alhamdulilah,” ujarnya lagi.
Teman-temannya baru mengetahui kondisinya tanggal 27 September. Adalah Pak Lutfi sahabat dia kuliah di Trisakti yang mengirim foto dirinya sedang diruang isolasi sendirian. Tampak Pak Hardono dengan senyum lebarnya mengacungkan jempol. Sontak sobatmu mengucapkan syukur karena operasi itu berjalan lancar.

Foto itu juga memberi keterangan bahwa dirimu tidak boleh membawa smartphone. Beberapa hari para pasien GGK yang bergabung di WAG Tangerang Raya seperti anak ayam kehilangan induknya. Sangat terasa kehilangan figur pengayomnya. Mereka terbiasa sehari-hari kau sapa. Butuh petuah-petuah kamu di kala mereka menurun semangat menjalani hidup.
Hari ini, hari ke 17, setelah kamu mendapat ginjal ketiganya. “Saya sangat bersyukur diberi kesempatan hidup kedua-kalinya. Selama 24 jam saya minum 2000 ml. Demikian juga BAK-nya (Buang Air Kecil),”
“Setelah bertemu urolog, pada saat kontrol minggu pertama, dokter mengatakan bahwa seluruh aliran darah pada ginjal baru dan saluran kemihnya sesuai dengan yang diharapkan,” ujarnya dengan berseri.
Hari-hari kedepan, pria satu ini akan mengampai mimpinya. Menjadi produktif lagi. Menjadi ayah yang mampu membiayai dua anaknya yang masih bersekolah. Membahagiakan suster cantiknya lebih dari sebelumnya.
Dan beberapa hari mendatang, anggotamu sudah tidak kehilangan lagi induknya. Sapaan pertamamu beberapa hari yang lalu saja telah membuat hati mereka lega. Kini, kicauanmu di group bagai mentari di pagi hari, bagai kehidupan yang ceria telah dimulai lagi.
Kamu sekarang telah berubah. Kamu juga bertekad mengubah gaya hidupmu, agar pemberian ginjal istrimu tidak sia-sia.
”Setelah transplant ini saya melihat-nya sebagai sebuah kesempatan kedua yang tidak akan saya sia-siakan. Kemarin-kemarin saya salah memperlakukan tubuh-ku,”
“Salah memperlakukan pemberian Allah dengan makan tanpa melihat mana yang perlu, mana yang tidak. Makan sembarangan dan tidak melakukan olah raga yang cukup,”
“Sekarang saya mau berubah , karena saya tidak mau apa yang sudah diberikan oleh Tanti menjadi sia-sia,” ujarnya menutup pembicaraan kita berdua lewat WhatsApp

Semoga hari kedepan kita bisa menyaksikan pria ini menjadi pelari maraton yang handal. Menjadi bapak dan suami yang baik buat keluarganya. Menjadi malaikat tak bersayap bagi banyak pasien cuci darah lainnya.
*Ciganjur, tak bosan-bosan-nya tangan ini menengadah kepada Yang Kuasa. Kelak memperoleh kehidupan yang baru.
Oleh: Peter Hari (Sekjen KPCDI)