Teladan Dari Tanah Rencong

Jika pasien Gagal Ginjal ditanya siapa pasien dari Aceh yang paling dikenal? Jawabannya pasti Ruslan Marodi, pria kelahiran 8 Maret 1982.
Pria kurus dan berkulit hitam ini, hampir setiap hari nongol di media sosial Facebook. Mau sedang gembira, atau sedang dirawat, ia selalu membuat status. Orangnya ramah, selalu menyapa siapa saja temannya di dunia maya.
Seingat Tony, awal berhubungan dengannya, sekitar tahun 2016. “Saya pasien HD (Hemodialisa) sudah jalan 3 (tiga) tahun. Saya di diagnosa edema (penumpukan cairan) pada paru sekitar 5 bulan lalu. Saya HD di RSUD Cut Nyak Dhien, Meulaboh,” ujarnya via WA (WhatsApp) kepada Tony Samosir.
Saat itu, Tony Samosir segera mengadvokasi Ruslan, karena rumah sakitnya hanya melakukan proses hemodialisa selama 4 jam. Bagi KPCDI hal itu adalah pelanggaran ketentuan PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia).
Tak tanggung-tanggung, apa yang dialami Ruslan disampaikan ke Amelia Anggraeni, anggota Komisi IX DPR RI. Anggota parlemen itu meresponnya dengan menyampaikan persoalan ini dalam Rapat Kerja dengan BPJS Kesehatan beserta Menteri Kesehatan.
Advokasi berhasil, Ruslan bisa melakukan cuci darah selama 5 jam. “Kamu harus minta HD tiga kali seminggu. Segera lah meminta rekomendasi KGH,” ujar Tony lewat WA.
Ruslan awalnya enggan, dia di desak Tony harus ke RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh. Walau jauh tetap harus dilakukan, demi Hemodialisa yang adekuasi.
Tapi kelanjutannya tidak tahu karena Tony keburu operasi Transplantasi Ginjal.
Sangat banyak postingannya bercerita tentang seringnya dia drop. Permasalahan utamanya ada di paru-parunya. Sungguh terenyuh melihat foto dirinya yang begitu kurus dan lemah, sangat kontras dibandingkan semasa dia masih sehat.
Pada tanggal 3 Februari 2018 kau menulis status, genap tepat sore ini dua tahun yang lalu kamu menjalani operasi paru atau bedah thoraks di RSU Zainal Abidin. Kau katakan juga setahun paska operasi komplikasi muncul dengan kasus empiema (terdapat nanah diantara paru-paru) dan infeksi kembali terjadi.
Kau sertakan foto dirimu berada di ICU dalam keadaan koma. Entah selang apa saja yang menutup hidung dan mulutmu? Membuat teman-temanmu miris. Sekaligus kagum kamu mampu melewatinya.

Hampir setiap cuci darah, selang oksigen selalu nempel dihidungmu. Kalau ditanya kenapa pakai “belalai”, Ruslan menjawab karena tensi rendah dan pusing. Lain waktu kamu mengatakan karena sesak nafas.
Entah berapa kali kamu posting sedang melakukan transfusi darah. HB-nya (Hemoglobin) sering anjlok, sampai hanya 6. “Aku nggak nafsu makan, makanya kurus. Hanya dengan menu ayam aku jadi punya selera makan,” tulisnya di akun facebook-nya.
Rumahnya di Desa Pasie Tengoh, Kecamatan Kaway 16, Kabupaten Aceh Barat, memerlukan waktu satu jam tiga puluh menit menuju RSUD Cut Nyak Dhien, Meulaboh.
“Jalannya harus melewati gunung dan hutan,” tulisnya di halaman facebooknya.
Ketika HD selalu dia sendirian. Kalau pulang baru ada yang jemput. Pernah suatu ketika menulis satatus kalau dia sudah terlalu lama sendiri. Temannya ada yang berkomentar apakah sudah beristri? “Aku duda sudah setahun ini,” jawabnya dengan singkat.
Aku tidak tahu mobil pick up L300 yang sudah tua itu miliknya atau bukan? Tapi, mobil itu setia menemani Ruslan. Suatu ketika dia menulis status hari sudah sore tapi ia masih di kebun sawit. “Aku harus mengangkut kelapa sawit, agar punya duit,” ujarnya.

Kalau job sepi, akan membuat untangnya di warung menumpuk. Bahkan pernah dia berkata dompet kosong padahal besok cuci darah.
Aku nggak bisa membayangkan betapa beratnya menjadi sopir angkutan sawit. Sering drop dan HB rendah, tetapi tetap semangat menjalani pekerjaan itu.
Ketika harga sawit turun akhir-akhir ini membuat dia sedih. Ada temannya sarankan jangan dijual sekarang. Tapi kamu menjawab kalau tidak dijual sekarang keburu busuk buahnya.

Setiap tanggal 24 Desember, rasanya berat bagimu. Kamu berkata trauma akan peristiwa tsunami yang melanda Aceh tahun 2004. Sampai saat ini masih terkenang. Rumah mu yang di Meulaboh tersapu bersih oleh Tsunami. Kamu dan adikmu selamat dalam peristiwa itu.
Malam bagimu adalah perjuangan. Kamu katakan sudah terbiasa tidur dalam kondisi sering terjaga. Kesulitan tidur seperti kebanyakan pasien gagal ginjal. Sungguh membuat badan dan tubuh semakin kesakitan.
Malam Minggu juga sering kau tanya. Kau katakan sudah biasa sendirian. Tapi pernah kamu meratapinya karena malam Minggu pas saat itu begitu sunyi dan sepi.
Sungguh aku mengagumimu. Semangatmu begitu luar biasa. Kamu tidak kepingin menyerah. Lebih bermartabat ketika memilih sekuat tenaga tetap bertahan hidup, walau secara medis sudah begitu payah.

Hari ini, perjuangan pasien cuci darah dari Tanah Rencong itu berhenti. Beberapa temannya mengabarkan berita berpulangnya Ruslan Marodi. Kami sobatmu yang mendengar kabar ini sontak menangis. Sekaligus bahagia. Kamu sudah bebas.
Ruslan, kini kamu tidak perlu takut lagi akan hujan. Kamu yang selalu kuatir bila hujan datang akan membuat kamu kedinginan. Kamu juga sudah tidak takut lagi akan gelap karena listrik di desa mu sering mati. Kamu juga tidak takut lagi harga sawit jatuh. Kamu juga tidak takut lagi kalau dompetmu kosong padahal esok hari akan cuci darah. Kamu tidak takut kalau darahmu akan mampet di akhir hemodialisa.
Tuhan sangat mencintai kamu. Ketakutan mu semua sudah disingkirkan-Nya. Kamu sudah merdeka dan bahagia. Kami yang masih di sini masih sering takut kepada banyak hal. Tapi, teladanmu mungkin yang membuat kami berani untuk melawan takut itu semua.
*Ciganjur yang panas tapi mata ini basah
Oleh: Peter Hari (Sekjen KPCDI)