Duo Pendekar CAPD

Sudah dua bulan terakhir ini sengatan Matahari begitu panas. Suhu panas udara yang menyengat seperti ini  membuat pasien gagal ginjal takut beraktivitas di luar ruangan. Panas  yang sangat terik membuat nafsu minum pun semakin meningkat. Sebagai pasien, kami memahami betul dampak resiko bila minum terlalu banyak.

Tapi kalau beraktivitas seperti di mall atau ruangan yang sejuk, harus merogoh kantong lebih dalam lagi.  Paling tidak seratus ribu keluar dari kocek masing-masing peserta.

Minggu (08/10/2018) , Komunitas Pasien Cuci Darah Indoensia (KPCDI) memutuskan melakukan Kopi Darat (Kopdar) di Kebun Raya Bogor. Mencari tempat berbiaya rendah, tapi juga tidak terlalu terik.

Selain itu, tempatnya dekat, karena diprioritaskan pesertanya  yang tinggal di Bogor. Tanpa di duga, cabang dari luar kota banyak yang ikut.

Kebun Raya ini usianya sudah sangat tua. Paling tidak kita bisa melihat dari pohonnya yang tinggi dan besar. Konon, dulunya hutan buatan ini sudah ada dijaman pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi 1474-1513) dari Kerajaan Sunda.

Pada awal 1800-an Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, yang mendiami Istana Bogor dan memiliki minat besar dalam botani, tertarik mengembangkan halaman Istana Bogor menjadi sebuah kebun yang cantik.

Dengan bantuan para ahli botani, W. Kent, yang ikut membangun Kew Garden di London, Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Raya Bogor dalam bentuknya sekarang.

Rasanya kami benar-benar ada di tengah hutan. Sinar Matahari tak mampu menerobos lebatnya pohon-pohon tua itu. Ditambah pada siang hari pohon melakukan fotosintesis, menghasilkan oksigen, membuat disekitar pohon menjadi sejuk.

Udara sejuk membuat kami nyaman melakukan acara tatap muka sesama pasien gagal ginjal. Hampir yang datang semua berbicara untuk memperkenalkan diri.

Adalah Susanto dan Edo. Dua anak muda dari Bekasi ini didaulat untuk berbicara panjang lebar tentang CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Kenapa memilih CAPD? Apa perbedaannya sebelum dan sesudah CAPD?

Edo Pramandhantya, begitu nama lengkapnya di akun Facebooknya. Cukup sahabatnya memanggilnya dengan nama Edo.  Berwajah ganteng, rambutnya dibiarkan panjang, dan seringnya dikuncir. Mirip bintang film laga di film sinetron.

 

Edo dan Istri tercinta

“Aku menikah pada tahun 2014. Baru berjalan 4 bulan aku sudah divonis harus cuci darah. Awalnya menolak, tapi akhirnya ambruk juga dan menyerah untuk cuci darah,” ungkapnya.

 

Sarjana Perikanan dan Kelautan dari Universitas Padjajaran ini, di masa lalunya hobi minum soda dan tidak suka air putih. “Hipertensi saya tak terkontrol. Itulah faktor penyebab ginjalku rusak,” ujarnya.

 

Saat itu usianya masih 27 Tahun, musibah itu membuatnya down. Bahkan, tak mau berinteraksi selama enam bulan dengan dunia luar.

 

“Aku menutup diri, dan Istriku yang telaten membuat aku bisa bangkit lagi dan mengejar mimpi-mimpi ku,” ungkapnya.

 

Awalnya, dari Hemodialisa kemudian berpindah ke terapi CAPD, agar bisa leluasa berpergian. Edo dan sang istri “penggila” traveling. Seiring waktu, kondisi fisiknya pun malah membaik.

 

 

 

“Tensi saya justru stabil. Cerita tentang seremnya kalau terkena infeksi tidak terbukti,” ungkapnya lagi.

Bahkan Edo berseloroh seremnya CAPD karena membuat nafsu makan-makan yang enak-enak meningkat. “Dengan terapi CAPD memang pasien dituntut makan protein lebih banyak,” ujarnya penuh semangat.

 

Susanto Sandi, begitu nama akun facebooknya. Ketahuan gagal ginjal karena kebetulan. Kebetulan di akhir tahun 2015 ia mengalami kecelakaan kerja. Jatuh dari tangga lipat, pinggangnya  mengenai anak tangga.

 

Susanto dan Istri tercinta

“Ketika di scan di rumah sakit tidak ada tulang yang patah. Tapi hasil tes laboratorium kreatininnya sudah 12. Dokter menyatakan fungsi ginjal ku tinggal 4 persen dan harus cuci darah,” ungkapnya.

 

Bapak dengan usia 33 tahun ini, dan sudah dikarunia dua putri, menolak dan minta pulang. Akibatnya fatal, beberapa hari kemudian tumbang, bahkan sampai penglihatannya kabur.

 

Ureum ku saat itu sudah di angka 440, dan kreatinin 15. Dokter memarahi istriku kenapa kok dibawa sudah dalam keadaan begitu,” ujarnya.

 

 

 

Menjalani terapi Hemodialisa selama kurang lebih dua tahun, membuat kesehatan Susanto menurun. “dr. Linda, Sp.PD-KGH di Rumah Sakit Hermina Bekasi menyarankan saya terapi dengan CAPD. Berbekal mempelajari informasi  dari seminar KPCDI dan internet tentang CAPD memantapkan aku beralih ke cuci darah mandiri itu,” ujarnya.

Dengan terapi ini membawa Susanto mempunyai usaha menjual alat-alat  perlengkapan CAPD. “Memilih CAPD, saya bersyukur bisa bantu ekonomi keluarga dan lebih leluasa. Awalnya, ingin bantu pasien agar tidak kesulitan mencari perlengkapan CAPD,” ujarnya lagi.

 

Peritoneal Dialisis KPCDI

Dua anak muda ini merupakan Pengurus KPCDI Cabang Bekasi. Beberapa bulan lalu mendapat tugas dari Pengurus Pusat  mengelola WhatsApp Group untuk pasien CAPD.

Tepat tanggal 26 Juli 2018 WhatsApp Group (WAG) terbentuk. Diberi nama Peritoneal Dialisis KPCDI. Anggotanya kini sudah mencapai hampir 100 orang yang bergabung.

Hampir setiap hari terjadi diskusi diantara anggota group. Bukan saja bermanfaat bagi pasien baru, pasien lama juga merasakan manfaatnya. Setiap problem yang dihadapi kalau tidak jelas akan ditanyakan ke forum. Yang tahu membagi ilmunya.

Seperti salah satu anggota yang bertanya mengapa pasien CAPD tetap harus menjaga gula darah?

“Kalau gula darah tinggi, maka cairan dianeal tertarik masuk tubuh, kalau gula darah stabil sebaliknya, sejumlah ureum kreatinin serta air yang ke pritoneum,” jawab anggota lainnya.

Dua anak muda ini menjadi motor sekaligus penanggung-jawab WAG tersebut. Penugasan ini membawa Susanto lebih banyak lagi membaca literatur tentang CAPD.

Kini dia sedang belajar menulis panjang dengan kalimat efektif dan lebih terstruktur. Media sosial adalah jalan bagi dia untuk memperkenalkan terapi CAPD kepada publik.

Dalam Anggaran Dasar KPCDI, anggota tidak hanya pasien  Hemodialisa saja, tetapi juga CAPD dan Transplantasi Ginjal.

Kedua anak muda itu mengajak peserta Kopdar untuk beralih ke terapi CAPD. Mereka memberi kesaksian bahwa dengan CAPD hidup mereka lebih membaik.

KPCDI berkepentingan agar terapi CAPD terkampanye luas. Selain alasan di atas, juga soal efisiensi biaya. Seperti hasil penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia, ongkos terapi CAPD lebih hemat dari terapi hemodialysis (cuci darah) yang menggunakan mesin. Hasil ini sudah diadopsi Kementerian Kesehatan RI. Mereka sedang mempunyai program percontohan (pilot project) di Jawa Barat. Targetnya, 30 persen pasien Gagal Ginjal Kronik memilih terapi ini.

Baru saja kita kehilangan Ambri Lawu Trenggono. Seorang  figur yang mendedikasikan dirinya untuk kemajuan dunia CAPD.

 

Kini, tumbuh tunas baru, pengganti tongkat estafet. Kita doakan Edo dan Susanto mampu memikul beban itu.

 

 

*Dalam sejuknya kamarku beberapa hari ini

Oleh: Peter Hari (Sekjen KPCDI

Leave a Reply