Siaran Pers: BPJS Kesehatan Terapkan Sistem Online, KPCDI Nilai Tak Sesuai Fakta di Lapangan!

Peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini tak perlu lagi membawa kertas atau blanko rujukan saat ingin berobat lanjutan ke rumah sakit. Sebab, BPJS Kesehatan telah mewajibkan seluruh peserta untuk menggunakan sistem rujukan online per 1 September 2018.

Kebijakan BPJS Kesehatan itu, menurut pengakuan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir bertolak belakang dengan fakta di lapangan.

“Ternyata fakta di lapangan jauh berbeda. Pasien masih tetap dimintain foto copy surat rujukan, KTP dan Kartu BPJS Kesehatan. Cukup berbelit!,” tegas Tony di Jakarta, Rabu (03/10).

Tony mengungkapkan pengalamannya. Awalnya, dia mengunjungi fasilitas kesehatan (faskes) pratama setingkat puskesmas di bilangan Jakarta Utara. Maklum saja, rujukan untuk 3 (tiga) bulan telah habis. Meski pasien kronis, BPJS tidak tebang pilih, artinya pasien wajib mengurus perpanjangan rujukan untuk segala kondisi.

Lewat Puskesmas, Tony pun mengantri. Waktunya lumayan cepat. Dia berkunjung agak siang, karena, jika berkunjung pagi hari, antrian akan cukup mengular. Ini sudah ia rencanakan karena belajar dari pengalaman.

“Kira-kira, di sana saya menyelesaikan waktu antara 1-2 jam menunggu untuk dipanggil ke ruangan poli dokter umum,” tuturnya.

Ia melanjutkan, di poli umum puskesmas, ia cukup diukur tekanan darah saja. Dokter pun langsung memberikan surat rujukan tanpa pemeriksaan. Stetoskop masih menggantung di leher. Ia pun bergumam, dokter tahu bahwa Tony pasien post transplantasi, tak banyak yang bisa ia perbuat dikarenakan beda bidang keilmuan. Jadi ya wajarlah. Selesainya, administrasi di puskemas pun lamgsung memilah-milah Rumah Sakit mana yang masih tersedia untuk menangani rujukan pasien.

Menurut penjelasan salah seorang petugas, bahwa Tony tidak bisa dirujuk di salah satu RS, sebab saat ini RS tersebut bertipe B. Ini sesuai peraturan BPJS yang baru. Kepada petugas, Tony pun menanyakan rumah sakit rujukan terdekat. Petugas pun memberitahukan bahwa salah satu rumah sakit di bilangan Jakarta Timur ada yang bertipe C. Lalu, Tony diberikan selembar kertas rujukan untuk ditujukan ke rumah sakit yang tipe C tersebut.

Menurut Tony, sejak BPJS Kesehatan mengalami defisit, beberapa bauran kebijakan diberlakukan yang salah satunya sistem rujukan dan rujuk balik. Hal ini tentu dianggap akan membantu menekan cost secara efektif. Semakin tinggi tipe RS maka semakin besar biayanya.

“Dengan kata lain, kalau bisa ditangani di puskesmas, buat apa pasien berobat ke Rumah Sakit (RS). Kira-kira begitu, tapi tanpa evaluasi dan investigasi yang matang,” ujarnya.

Ia mempertanyakan bagaimana dengan penyakit kronis? Apakah efektif? Apakah tidak kasihan dengan pasien yang memang berkebutuhan khusus? Cacat, yatim piatu, berkursi roda, orang tua yang renta, atau kondisi drop karena cuci darah?

“Saya hanya berdoa, jangan sampai regulator sampai penyelenggara kebijakan mengalami penyakit yang sama seperti ini. Saya yakin mereka tak mampu melewatinya!,” harap dia.

Tony kembali menceritakan pengalamannya. Ia pun tiba di RS yang dirujuk. Setibanya disana, ia langsung melakukan pendaftaran baru, sebagai pasien baru. Wajar, karena ini pertama kali saya berobat disana.

Petugas administrasi meminta foto copy surat rujukan, KTP dan Kartu BPJS masing-masing 1 (satu) lembar. menanyakan bukankah layanan pakai sistem online. Ternyata di RS tersebut belum menerapkan sistem online. Bahkan, foto copy tak sediakan oleh RS dan akhirnya ia harus ke luar mencari layanan foto copy.

Singkat cerita, Tony balik ke RS untuk mengambil nomor antrian. Ia membayangkan, bagaimana kalau pasien cuci darah yang melakukan demikian, tanpa pendamping, tanpa kendaraan.

“Setega itukah BPJS Kesehatan menerapkan peraturan tanpa memperhatikan kondisi pasien? Sudah jelas, bahwa rujukan lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, ditambah tidak adanya kompetensi pelayanan rujukan dalam menangani pasien cuci darah dan cangkok ginjal. Dan satu hal lagi, mana janji BPJS tentang peperless itu?,” protes Tony. ***

Pengurus Pusat
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)

Ketua Umum : Tony Samosir (081380502058)
Sekjen : Petrus Hariyanto (081310639319)

Leave a Reply