Ketika Pasien Cuci Darah Saling Bertemu

Minggu siang yang terik dan cerah itu, di Perum Sarua Makmur, Sarua Ciputat, Tangerang Selatan, sudah berkumpul beberapa orang. Kulihat bangku-bangku sudah tertata rapi , membentuk formasi yang siap digunakan untuk sebuah acara kumpul-kumpul. Rumahnya cukup besar, terasnya juga luas, dan di depan terdapat taman bermain anak.
Ketika aku sudah turun dari gojek, yang membawaku dari Ciganjur, sang tuan rumah, pak Hardono menyambutku dengan hangatnya. “Terima kasih Om Peter, sudah mau datang di acara ini,” sapanya dengan hangat kepadaku.
Yang sudah datang ternyata Marga Juarno dan sang istri yang merupakan penyandang gagal ginjal. Marga Juarno sangat terkenal di group Facebook HGM (Hidup Ginjal Muda), sebagai pendamping yang mempunyai pengetahuan luas tentang hemodialisa. Istri Pak Hardono juga menyambut dengan bersahabat. “Naik gojek ya? Berapa jam?,” tanyanya dengan ramah.
Ketika kukatakan dua jam, mereka berdua kaget. Dan aku sampaikan, bahwa driver-nya tersesat beberapa kilometer.
“Wah udara panas banget. Es teh-nya sudah bisa di nikmati Pak?” tanyaku sambil membasahi bibir dengan lidahku dan menunjuk tempat minum setinggi 50 cm yang terbuat dari bahan kaca itu.
Tempat es teh ditempatkan di ruangan paling depan, sebuah pemandangan yang begitu mempesona bagi pasien cuci darah. Tempatnya yang besar dan transparan, menjadi godaan tersendiri bagi semua pasien cuci darah yang akan bertemu nanti. Es-nya terlihat melimpah. Di bawahnya ada kotak pendingin yang isinya air mineral yang begitu dingin.
Tanpa dipersilahkan lebih dulu aku memohon ijin untuk mengambil es batu dan air mineral. Selain kuminum, aku gunakan untuk berkumur, untuk menurunkan suhu badan dan menyejukan mulutku.
Sedari awal pembicaraan antara Aku, Pak Hardono dan Pak Marga Juarno, sudah mengarah kepada persoalan serius. “Seharusnya, setiap pasien cuci darah tidak hanya pasrah dan menerima saja apa yang dilakukan oleh dokter dan suster. Pasien dituntut memahami proses hemodialisa sebanyak-banyaknya, termasuk cara kerja mesin hemodialisa. Kalau pasrah, ya tidak akan mencapai hasil yang maksimal,” ucap suami yang setia mendampingi istrinya yang penderita gagal ginjal itu.
Pembicaraan mengalir begitu renyahnya. Setiap waktu berjalan, pasien lain pun turut berdatangan. Rata-rata mereka membawa makanan dan kue. Seperti Rangga yang baru cuci darah beberapa bulan lalu membawa bakso. “Saya sudah berjualan bakso selama empat tahun. Sampai hari ini saya tetap berjualan walau menjalani hemodialisa,” ujar pria berbadan tinggi dan berkacamata ini.
“Memang kami bergotong royong dalam menyelenggarakan acara Kopdar di wilayah Tangerang Raya ini. Sebagai sebuah group di WhatsApp yang baru dibentuk Juni lalu. Proses terbentuknya dengan cara mencari satu persatu pasien cuci darah dari unit Hemodialisis (HD) di Tangerang Raya. Kami juga baru berjumpa tatap muka sekali ini,” ujar Pak Hardono sang pendiri group pasien cuci darah ini dengan menamai group KPCDI Tangerang Raya.
Setelah saling bertemu secara langsung, kuperhatikan mereka begitu akrab dan saling bercanda. Kami pun cukup terkejut ketika kedatangan tamu istimewa, yaitu, Mas Amron Trisnadi, salah satu admin HGM dan juga pasien senior yang datang bersama istrinya. Kami sambut kedatangannya dengan rangkulan persahabatan. Terlihat tubuhnya begitu bugar. Tak ada tanda-tanda ia seorang pasien cuci darah.
“Kalau hari ini aku tidak pergi ke gereja, seharusnya aku jogging dan berolah raga. Aku belum pernah dirawat di rumah sakit, kecuali awal cuci darah. Semua itu dari hasil kerja keras mencari pengetahuan tentang cuci darah. Dan jangan sungkan-sungkan dan takut berhadapan dengan suster dan dokter. Kalau mereka tidak benar dalam menjalankan tugasnya, ya kita tegur. Syaratnya, tentu kita harus tahu seluas-luasnya pengetahuan hemodialisa,” ujar pria berkumis tipis mengenakan celana pendek dan topi gaya anak muda ini.
Kedatangan saya di forum kopdar ini sebagai utusan dari Pengurus Pusat KPCDI. Saya mendapat giliran pertama untuk berbicara di forum. Saya katakan ada beberapa alasan membentuk sebuah komunitas. Yang paling utama sebagai wadah untuk saling menguatkan, sharing, dan pertukaran ilmu dan pengalaman menjalani hemodialisa.
“Awal-awal HD, aku begitu tertekan dan menderita. Semangat saya tumbuh kembali ketika seorang nenek kurus menasehati aku. Sang nenek yang baru saja selesai hemodialisa mengatakan, sudah lah mas diiklaskan saja. Dengan begitu kita akan ringan menjalaninya. Tidak perlu dipikir terlalu mendalam penyakit kita,” ujar nenek itu kepadaku yang sedang termenung karena drop seusai HD.
Nasehat yang datang dari seorang nenek yang tubuhnya terlihat ringkih, hanya tulang berbalut kulit, menyentakkan kesadaranku. “Kalau nenek itu bisa kenapa aku tidak bisa?” ucapku kepada forum itu.
Setahun berikutnya Aku dan Tony mendirikan komunitas dan salah satu kegiatannya adalah membangkitkan semangat pasien baru, agar pemulihan mentalnya tidak terlalu lama. “Aku dengar Pak Hardono awal divonis sudah langsung berkenalan dengan KPCDI. Dia tidak merasa sendiri, dan cepat move on-nya,” ujarku lagi.
”Dengan komunitas kita bisa memperjuangkan kepentingan pasien, berhadapan dengan manajemen unit HD yang “nakal”.
Aku, Tony dan beberapa rekan yang sudah membentuk KPCDI, berhasil memperjuangkan pasien mendapat hormon EPO untuk meningkatkan sel darah merah, tranfusi darah, pemeriksaan ureum-kreatinin pre dan post HD secara gratis, di mana sebelumnya tidak diberikan oleh klinik. Dengan berkomunitas daya tawar kita lebih tinggi daripada berjuang seorang diri,”
“Dengan berkomunitas, kita bisa mendorong PERNEFRI, BPJS Kesehatan, anggota DPR RI memperjuangkan nasib kita. Contohnya, sebuah rumah sakit menerapkan reuse tabung dialser sebanyak tiga puluh lima kali . Kita mendorong PERNEFRI untuk menjalankan tugasnya. Maka keluarlah ketentuan PERNEFRI tentang batas reuse sebanyak 7 kali. Dan kini rumah sakit itu menjalankan aturan itu,”
Di akhir acara, aku sempat diskusi intensif dengan beberapa peserta yang masih bertahan. Kukatakan bahwa Tangerang Raya sebaiknya membentuk kepengurusan. Dengan adanya pengurus, akan ada pembagian tugas. Dan diharapkan akan banyak lahir kegiatan, dan penambahan anggota. Mereka berjanji, setelah mereka bertemu langsung untuk pertama kalinya ini, akan segera mewujudkan pembentukan kepengurusan.
Saat mentari sudah kehilangan daya sengatnya, Aku dan Donny (Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi) pamit pulang. Setiap pertemuan adalah energi. Setelah kopdar ini aku meyakini mereka akan tambah bersemangat. Dan mereka telah merancang pertemuan berikutnya.
*Di sebuah sore di Gedung Nusantara I yang begitu dingin setelah turun hujan beberapa saat.
Oleh: Petrus Hariyanto (Sekretaris Jenderal KPCDI)