Anak ku, Kekuatan ku

Ketika kutanya kenapa terkena gagal ginjal kronik dan harus cuci darah? Ibu satu anak ini menjawab bukan karena akibat sakit tekanan darah tinggi atau kecing manis. ”Saya dulu gemuk. Saya suka minum jamu pelangsing tubuh. Karena kebanyakan minum jamu, lalu mengendap dalam tubuh, membuat ginjal saya terkena,” ujarnya kepadaku.
Namanya Neneng Rohani. Dia lahir dan besar di Jakarta, 45 tahun yang lalu. Ketika harus menjalani cuci darah anaknya baru berumur satu tahun.”Tepat ulang tahun pertama anak ku Wahyu, justru aku cuci darah dan sering drop dan masuk ke rumah sakit. Ia aku titipkan ke neneknya karena aku tidak mampu merawatnya,” tuturnya kepadaku yang siang itu mengunjungi rumahnya.
Tetapi Neneng beruntung, tahun 2005 dia terbang ke negeri Cina. Kakak iparnya yang Menteri BUMN dijaman Pemerintahan SBY membiayai operasi tranplantasinya di sana. Dua bulan satu minggu, ibu yang mempunyai senyum menawan ini berada di negeri Panda. “Pulang ke tanah air aku sudah bisa kecing banyak sekali. Aku benar-benar sehat dan tidak lagi cuci darah,” ucapnya kini dengan tawa renyahnya mengenang momen indah itu.
Kehidupannya mulai berubah. Selain tidak perlu cuci darah , neneng juga sudah tidak perlu opname ke rumah sakit lagi karena sering drop. “Aku mulai membantu suami mencari nafkah. Aku jual keripik. Setiap hari aku ke pasar untuk belanja. Aku dapat merawat anak ku layaknya orang normal,” ujarnya kini dengan tawa lebih lebar lagi.
Neneng bercerita, tahun 2005 belum ada BPJS. Pasien transplantasi ginjal membutuhkan obat dan tidak dicover. Jualan keripiknya tak mampu digunakan untuk membeli obat-obat bagi pasien tranplantasi ginjal. “Awalnya, biaya obat mencapai delapan juta. Berkat bantuan kakak iparnya, dirinya bisa bernafas lega,” tuturnya lagi.
Hidup memang tidak bisa kita yang mengatur. Cobaan hidup hadir lagi dalam kehidupannya. Suami tercintanya menderita sakit diabetes. Menjelang tahun 2010 suaminya mulai sering di rumah dan sudah jarang bekerja. “Cobaan itu berat bagiku. Tahun 2010 dia divonis juga cuci darah. Suamiku tidak mau menjalaninya. Dia lebih memilih pengobatan alternatif di salah satu rumah sakit holistik di Jawa Barat. Pada opname yang kedua kali-nya Tuhan memanggilnya. Hidupku benar-benar hancur,” ucapnya kini dengan tangisnya.
Neneng terus menumpahkan perasaannya. Dengan tangisnya dia bercerita kalau adik kandungnya tahun 2012 giliran dipanggil Tuhan karena cuci darah juga. “Tahun 2011 aku juga cuci darah lagi. Cobaan ini berat bagiku Pak Hari,” ujarnya dengan tangis yang sudah tidak terbendung.
Neneng berhenti bercerita. Tangisnya sungguh mendalam sampai mengunjang pundaknya. Ingin rasanya aku dekap dia. Membelai kepalanya agar dia terdiam. Aku ingin katakan bahwa semua itu adalah rencana Tuhan. Tapi kuurungkan niatku. Aku baru kenal dia satu hari sebelumnya. Aku akhirnya mencoba menenangkannya lewat suaraku.
Aku mulai berani bertanya lagi. “Neng, apa yang membuat kamu kuat dan tabah sampai hari ini?
“Anak ku Pak Hari. Dia adalah kekuatanku. Saking aku takut mati dan tidak bisa melihat dia memakai seragam TK, umur dua tahun setengah sudah kumasukan ke TK. Ketika masuk SD aku sungguh senang. Apalagi ketika dia memakai seragam SMP. Kini dia sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi masuk perguruan tinggi. Itulah yang membuat aku kuat dan ingin melanjutkan hidup selama mungkin,” ucapnya kini dengan terharu.
Ibu Neneng bercerita kalau membesarkan anak tidak mudah bila kita penderita gagal ginjal dan single parent. Apalagi tahun-tahun di mana belum ada BPJS. ”Aku sampai pernah cuci darah dengan uang dua ribuan. Kukumpulin dari mana saja terutama kakak-kakak iparku. Sampai pihak rumah sakit berkata memang tidak ada uang lainnya?,” ujarnya.
Kini Neneng punya Wahyu, anak lakinya yang siap siaga kalau Ibu Neneng drop. Kakak-kakak iparnya juga banyak membantu.
Sore hari aku pamit pulang dari rumahnya yang terletak di Perumnas 2 Bekasi. Sepanjang KRL Bekasi yang membawaku menuju Manggarai aku melamunkan dia. Kutulis kisah ini bukan ingin bercerita tentang kesedihan. Aku ingin membagi cerita ini tentang sosok ibu yang mampu membesarkan anaknya selama delapan belas tahun ini. Bukan hanya dalam arti fisik semata, tetapi secara akhlak, Wahyu adalah anak yang mampu diandalkan ibunya. Kisah sosok seorang ibu penderita gagal ginjal yang membesarkan anaknya seorang diri setelah ditinggal wafat suaminya.
Mari kita semua belajar darinya.
*Ciganjur dalam udara yang begitu panas
Oleh: Petrus Hariyanto (Sekretaris Jenderal KPCDI)