Bunda Cantik Yang Tetap Bersemangat

Awalnya aku mengira ibu ini adalah perempuan Jawa. Wajahnya mengingatkanku pada perempuan keturunan bangsawan. Tutur katanya yang halus dan lembut. Belum lagi rumahnya ditata dengan ornamen-ornamen khas Jawa. Ternyata, Ibu ini istri dari seorang pria Jawa. Pria Jawa yang masih banyak mempertahankan tradisi budaya Jawa dalam memandang hidup.

“Saya asli Bangka Pak Peter. Mungkin karena saya sangat sayang sama Mas, dan mengikuti tradisi Jawa, jadi keliatan seperti orang Jawa,” ungkapnya ketika sore itu kami bertemu di Pondok Indah Mall sambil menikmati masakan “Bebek Tepi Sawah”.

Saya memanggilnya Bunda El. Nama lengkapnya Elly Elfrinika. Sebutan Bunda karena usianya memang jauh di atas saya, apalagi Bunda sangat dihormati diantara kami karena dia yang paling dewasa. Bagi pasien cuci darah yang muda-muda sering mendapat nasehat bijak darinya agar tetap disiplin menjalani pola makan dan pola hidup. “Ingat minumnya jangan banyak-banyak, nanti nyesek. Jaga jantungnya jangan sampai bermasalah,” ujarnya suatu hari ketika kami sedang berpiknik ke Lembang.

Tidak ada yang marah bila mendapat nasehat darinya. Kami semua sungkan, dan bahkan berterima kasih karena mendapat perhatian darinya. Kita sungkan karena tuturnya yang lembut. Keluar dari mulut seorang yang usianya sudah menimang cucu , tetapi masih terlihat cantik. Wajah dan kulitnya masih putih dan bersinar. Tak ada goresan hitam diwajahnya. Hampir semua pasien cuci darah selalu bertanya bagaimana Bunda El merawat tubuhnya? Semua mempunyai persepsi kalau itu lahir dari sebuah perawatan tubuh yang mutakhir.

“Nggak ada rahasianya Pak Peter. Saya cuci darah sudah lima tahun lebih. Saya tidak melakukan perawatan ala salon atau menggunakan kosmetik modern. Rahasianya ya pola makan dan pola pikir yang harus dijaga untuk mendapat tubuh yang sehat dan tetap terlihat cantik,’’ ucapnya dengan tertawa kecil.


Aku dan Lita yang saat itu menemaninya mengobrol tidak langsung mempercayainya. Tapi, setelah didesak terus dan jawabannya itu, akhirnya membuat kami percaya. Aku bertanya mengapa dia bisa terkena gagal ginjal?

Ibu dari dua anak itu tidak langsung menjawab. Terdiam dan tangannya memotong roti yang ada di atas meja di depannya. Tanda dia resah. ”Itulah yang kusesali pak Peter. Waktu itu aku sesak dan periksa ke dokter. Kreatinin ku sudah 3 (tiga). Di opname dan di observasi selama seminggu. Eh… malah kreatinin ku menjadi 8 (delapan). Dokternya hanya mengangkat bahu ketika kudesak kenapa ini terjadi,” ucapnya kini dengan lirih.

Suami dari Rahmat Gumbira seorang pilot senior Garuda Indonesia ini lantas pergi ke Singapura. Katanya, kesimpulannya gagal ginjal akut. Di Yogyakarta bunda El mendapat terapi cuci darah sebulan sekali dan mendapat obat khusus untuk perawatan ginjalnya. Kreatinin-nya hanya berkisar diangka 3 (tiga).

“Ketika pindah ke Jakarta, dokter di sini mengganggap aku sudah harus cuci darah selamanya. Harus tiga kali seminggu. Celakanya lagi obat yang dari dokter di Jogja tidak diberikan. Itulah yang akhirnya membuat kreatinin ku naik menjadi 8 (delapan) dan harus terus menerus cuci darah hingga kini,” ungkapnya dengan menyesal.

“Aku protes kepada Tuhan. Mengapa diriku yang tulus bekerja untuk sosial harus mengalami seperti ini? Ini tidak adil,” ucapnya dengan bergetar

Bunda protes, marah, dan akhirnya frustasi. Dia tidak mau berbicara lagi kepada orang lain. Kemana-mana dia memakai mukena tanpa dia sadari. Lantas dia tinggalkan sekolah dhuafa yang berhasil dia dirikan bersama kelompok pengajian ibu-ibu. Dia juga guru dari sekolah itu. “Suatu hari anak-anak didik ku mendatangi rumah ku. Di depan ku mereka menangis dan meminta agar aku tidak mengurung diri lagi. Mereka merasa kehilangan,” ungkapnya.

Saat itulah Bunda mulai tersadar. Ternyata tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan oleh orang lain. Semangatnya bertambah ketika mulai berinteraksi dengan komunitas pasien cuci darah yang banyak terdapat di media sosial. “Apalagi setelah berkenalan dengan KPCDI. KPCDI bagiku sangat berbeda. KPCDI mau bergerak membantu sesamanya,” ungkapnya dengan wajah bersemangat.

Bagi kami, Bunda orangnya berjiwa sosial. Bunda paling tidak bisa melihat penderitaan orang lain. Tangannya ringan terulur untuk membantu pasien cuci darah yang sedang mengalami penderitaan dan kesulitan.

“Kami menawarkan Bunda menjadi Pengurus Pusat. Bunda duduk di Departemen Sosial. Bunda sudah berpengalaman di kegiatan sosial,” ucapku kepadanya.

Bunda tidak keberatan. Wajah cantik dan senyumnya yang sumringah itu pertanda dia menerima ajakan untuk mengabdikan hidupnya di komunitas ini. Selamat berkarya ya Bunda.

 

 

*Ciganjur di siang hari dengan ditemani tiupan angin kecang

Oleh: Petrus Hariyanto

Leave a Reply