Sambil Cuci Darah Perempuan Itu Berjualan

Pukul empat pagi, disaat kebanyakan orang masih tidur pulas, perempuan ini sudah bangun. Bergegas ke dapur dan membuat adonan kue. Aneka kue ia buat di pagi hari itu. Pukul enam pagi ia tinggalkan sejenak dapurnya. Lantas dia bergegas pergi ke Bukit Duri sendirian dengan mengendarai motor. Kontrakan sederhanannya sendiri berada di daerah Pal Batu, Menteng Dalam. Dari sana dia kulakan krupuk kulit.

Sekitar pukul sembilan, kue baru selesai dibuat. Kemudian dia bergegas meluncur ke arah Jatipadang dengan motor bututnya. Belakang motor dan depan jok motor dipenuhi tas plastik hitam. Isinya ya kue yang dia buat dan krupuk kulit. Persis simbok-simbok di kota Yogyakarta yang mau berjualan ke pasar tradisional.

Dan pemilik nama lengkap Novia Hadiyanti ini memang pergi berjualan. Sesampai di Jatipadang, Mampang, tepatnya di halaman Klinik Cuci Darah JKC, motor ia parkir. Barang dagangan yang tersimpan dalam tas plastik hitam ia bawa masuk ke Klinik tersebut.

Langkah pertama dia tidak langsung berjualan. Ia mampir ke bagian administrasi untuk menyerahkan fotocopy rujukan dari Puskesmas. Ya, perempuan berjilbab ini ternyata seorang pasien cuci darah juga. “Saya sudah hampir empat tahun lebih menjadi pasien di JKC,” ujarnya.

Penyakit gagal ginjal yang dideritanya telah menghancurkan semua impian perempuan asal Tegal ini. “Aku gagal menjadi instruktur Yoga. Ketika mau memulai pelatihan aku divonis gagal ginjal,” ungkapnya.

Tidak cukup di situ saja, cobaan menghampirinya kembali. Counter HP di ITC miliknya mengalami kebangkrutan. Sakitnya, membuat perempuan jebolan semester lima Fakultas Hukum, Universitas Panca Sakti, Tegal ini tak lagi mampu mengawasi karyawannya dengan rutin. “Karyawan saya melakukan kecurangan. Pas jatuh tempo sewa toko, uang sewa sebesar 50 juta aku tidak mampu bayar lagi,” kenangnya dengan wajah sedih.

Berangsur-angsur kehidupan sebagai orang yang berkecukupan ia tinggalkan. Perempuan yang pernah bersuami warga negara India ini merelakan pindah dari apartemen ke kontrakan yang lebih murah. “Hanya dua tahun suami mendampingi saya sakit. Dia balik ke tanah airnya dan tak datang kembali,” ucapnya kini dengan mata berkaca-kaca.

Tapi hidup harus dilanjutkan. Novi mencari peruntungan lain. Dia tidak malu jualan kue. Karena jadwal cuci darahnya seminggu tiga kali, dia berjualan selama hemodialisa. Sebelum dia cuci darah, dia menawarkan kue dan krupuk kulit kepada pasien yang duduk di ruang tunggu. Jika sudah cuci darah, kue dia sajikan di meja sebelah bed-nya. Nanti suster dan pendamping pasien akan datang ke tempatnya untuk membeli barang dagangannya. Kalau tahun 2000-an di Parkir Timur Senayan di kenal dengan “Sogo Jongkok”, karena yang berjualan dan pembelinya jongkok. Dan yang ini bisa disebut “Sogo Tidur”, karena yang berjualan dalam posisi tiduran karena melakukan cuci darah.

Kini, Novi mempunyai pacar yang sangat mencintainya. Sama-sama berasal dari Tegal. Mereka berdua bercita-cita ingin menikah bila kelak sudah memiliki uang yang cukup.

Walau mempunyai keterbatasan fisik, Novi tetap bersemangat mencari rejeki. Dia ingin tetap bisa menghidupi dirinya. Dia tidak mau menyerah begitu saja. Baginya hidup adalah perjuangan. (Jakarta, 13 November 2016)

Sore hari di salah satu sudut kamar di RSCM

Oleh: Peter Hari

Leave a Reply