Tak Mau Berdiam Diri

Oleh: Petrus Hariyanto
Sehabis cuci darah tensiku tiba-tiba meninggi. Tak ampun lagi, kepalaku menjadi pusing dan muntah-muntah. Kucoba untuk duduk dan beristirahat. Aku tidak berani langsung pulang. Berharap tak terlalu lama akan segera membaik. Tiba-tiba aku dipanggil Satpam Klinik Jakarta Kidney Center (JKC). “Pak Hari diajak pulang bareng sama Nenek Saenah. Katanya, mobilnya lewat rumah Pak Hari,” ujar Satpam yang sering kupanggil dengan nama Pakde.
Aku langsung menginyakan. Walau dengan semponyongan aku segera menghampiri mobil kijang tua itu. Di dalam sudah ada si Nenek Saenah. Ia bersama cucunya. “Ayo bareng Pak Hari. Rumah saya kan lewat rumah bapak,” ucapnya.
Ternyata rumah Nenek Saenah di Cinere. Kalau dari Klinik JKC cukup jauh, dan jalan di sore hari macet banget. Maka ngobrollah kami berdua. Dari ceritanya, dia sudah cuci darah enam tahun. Usia nenek Saenah sudah mencapai 63 tahun. ”Aku lahir di daerah MH. Thamrin. Waktu aku lahir tempat itu masih sepi. Hotel Indonesia juga belum dibangun. Sejam juga paling satu mobil yang lewat,” ucapnya dengan bersemangat.
Aku orang yang kagum sama si nenek dengan empat putra dan 12 cucu ini. Walau tubuhnya kurus, dan kalau berjalan harus dituntun, tetapi semangatnya luar biasa. Setahun yang lalu KPCDI mengadakan Kopdar di Puncak, dia ikut serta. Perjalanan pulang-pergi sejauh itu mampu ia lalui sebagai seorang pasien cuci darah yang usianya sudah cukup senja.
Tambah kaget lagi ketika dia bercerita kalau di rumahnya dia membuka toko bahan dapur. ”Aku jualan bawang putih, bawang merah, ikan asin, krupuk, kacang,” ucapnya dengan entengnya.
“Trus, siapa yang kulakan?,” tanyaku.
“Ya kadang aku. Makanya saya kemarin sakit dan dirawat seminggu di Rumah Sakit Prikasih Pondok Labu,” ucapnya dengan santai saja.
Sang nenek kulakan sampai ke Tanah Abang. Padahal tokonya lebih tepat disebut distributor bumbu dapur. Dia sendiri yang menjadi penjaga tokonya. “Bawang merah dan bawang putih bisa berkarung-karung numpuk di toko. Yang beli pedagang sayur keliling,” timpal sang cucu.
Nenek super, lebih tepat aku menyebutnya. Pukul lima pagi toko sudah buka. Si pembeli katanya ngambil barang dan nimbang sendiri. Kata cucunya, toko itu disebut “toko kejujuran”.
Sudah berkali-kali anaknya meminta agar si nenek istirahat. Setiap bulan sang anak juga sudah mengirimi uang sebanyak Rp 5,3 juta. ”Aku nggak mau kalau hanya terdiam dan termenung. Aku maunya punya aktivitas,” ujarnya lagi.
Sewaktu KPCDI Kopdar di rumah Bu Ely di Cinere sang nenek sudah kepingin datang, tapi sayang dia sakit. ”Kalau nggak dilarang anak, aku maunya jalan-jalan,” ucapnya sambil ketawa.
Sejam lebih sudah kami ngobrol, bahkan aku ditraktirnya makan seafood. Dan kami harus berpisah. Setelah turun dari mobil aku geleng-geleng kepala memikirkan ceritanya. Pasien cuci darah seusianya banyak kutemui sudah tidak punya semangat. Nenek yang satu ini luar biasa. Semangatnya untuk tetap mengisi kehidupan ini bisa menjadi teladan bagi yang muda dan sehat. (Ciganjur, 20 oktober 2016)