Kisah Jiwa-Jiwa Yang Tergantung Dari Mesin (2)

Oleh: Petrus Harjanto*

Matahari belum menampakan wujudnya. Hening dan sunyi masih betah bertahan. Kalaupun ada suara sangat lirih terdengar tarikan dan hembusan nafas kedua anakku dan istriku yang masih terlelap tidur.

Di luaran juga sama. Pintu-pintu rumah masih tertutup rapat.  Orang-orang masih lebih senang membenamkan kepalanya di bantal dan membaringkan tubuhnya di kasur.

Sudah lama tak  ada suara ayam berkokok tanda pagi menjemput. Dan pada saat begini, raga dan pikirku sudah siap menyambut hari. Maunya menenggelamkan lagi dalam mimpi, tapi sering gagal. Rupanya kesulitan tidur banyak  dialami pasien cuci darah.

Setahun yang lalu, sepagi ini sudah menikmati langkah kaki ku menyusuri jalan-jalan yang ditemani gelap. Setengah jam cukup, itu sudah  kemewahan bagiku untuk berolah raga.

Tapi kini, untuk dapat sepenuhnya sadar memerlukan waktu bermenit-menit. Awalnya, merasakan  otot-ototku pegal. Ketika berdiri semakin menyadari betapa tubuh terasa letih. Itu  yang membuat “kemewahanku” kini  hilang.

Biasanya, berangsur-angsur membaik di sore hari. Mungkin seiring tubuh mampu menyerap sari-sari makanan. Kata dokter Riza yang merawat aku saat HD (hemodialisa), mengatakan kalau cuci darah itu bukan saja racun yang terangkut,   zat dan mineral yang dibutuhkan tubuh juga melenyap.

Setelah agak siangan, aku menelpon dokter Mariya untuk menanyakan kenapa diriku menggigil saat HD? Berbahayakah?.

“Siang dokter. Aku kemarin HD menggigil. Jadi lemes dok, Apa benar karena double lumen ku mengalami masalah?” tanyaku kepada dokter Mariya.

“Ok Mas Petrus. Nanti aku tanyakan dokter Ronggo ya. Nanti aku bbm,” jawab dokter Mariya.

Dokter Mariya adalah dokter umum. Untuk memastikan penyebab sesungguhnya dia bertanya kepada dr Ronggo, ahli bedah yang memasang double lumenku melalui sebuah operasi.

Boleh dikatakan aku beruntung bisa mempunyai teman seorang dokter. Setiap saat bisa bertanya kepadanya tentang penyakitku. Sebagai seorang penderita gagal ginjal kronik aku sering menghadapi situasi yang penuh kejutan. Seperti kemarin menggigil saat HD. Lain hari tiba-tiba drop, mengeluarkan keringat dingin.

Bila itu terjadi, aku tidak perlu ke dokter. Cukup bertanya ke dokter Mariya. Bisa menelponnya, atau mengirim bbm.

Hal ini sangat membantuku. Ke dokter memerlukan waktu lama. Misalnya ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), bisa seharian aku di sana. Pasien yang datang melebihi kemampuan rumah sakit. Ya jumlah dokternya, ya fasilitas ruangnya.

Seperti Poli Bedah,  terdiri dari ; bedah tulang, bedah vaskular, bedah tumor, bedah endokrin hanya terdiri empat ruang periksa. Yang paling menyedihkan ruang tunggunya dijadikan  satu. Space sebesar 10 x 2 meter itu diisi ratusan pasien. Ada yang patah tulang dan kaki, ada yang terkena tumor mata,  ada yang perutnya membesar karena terkena kanker. Mereka jadi satu, sungguh pemandangan yang memilukan

Tapi ya begitu. Kalau mau mendapat penanganan medis lebih mumpuni harus ke RSCM. Dia adalah rumah sakit rujukan nasional. Bila rumah sakit di daerah sudah angkat tangan,  pasien akan ditangani di sini.

RSCM juga merupakan rumah sakit research. Di sini bercokol Fakultas Kedokteran UI. Sekolah tinggi kedokteran tertua di Indonesia. Profesor dan Doktor numpuk di rumah sakit ini.

‘Malaikat’ dr. Mariya

Sudah dua hari  aku mendatangi RSCM. Yang pertama aku datang ke UGD ditolak, disuruh datang lagi besuknya langsung ke bagian rawat jalan. Keluhanku saat itu,  badanku  panas tinggi. Selain itu, aku  cemas sekali  karena air kencingku berkurang.

Dalam benakku mungkin ini waktuku untuk cuci darah. Teringat perkataan dokter di RSCM,  sekitar bulan November 2012, setahun yang lalu. Saat itu dokter memvonisku gagal ginjal kronik, cepat atau lambat harus cuci darah.

“Bapak fungsi ginjalnya tinggal 12,5 %. Saya menghitung dari hasil kreatinin bapak, berat badan bapak, dan usia bapak. USG ginjal juga semakin menyakinkan diagnosaku,” ujar dokter perempuan itu yang sampai hari ini aku tidak tahu namanya.

Dokter  cantik nan mungil  itu juga mengatakan kalau ginjalku sudah gagal berfungsi menyaring kotoran dalam darah. Darahku akan dipenuhi racun. “Berbahaya bagi kelangsungan nyawa bapak. Lama-kelamaan racun dalam tubuh bapak akan berdampak. Mulanya bapak akan mual dan sesak nafas. Tapi lama kelamaan kalau sampai ke otak berbahaya sekali. Jangan menunggu sampai koma baru melakukan cuci darah,” dokter itu menasehati aku lagi.

Jujur saja, aku stres berat. Debaran jantung meningkat. Wajah dokter dan perkataannya sudah tidak aku perhatikan lagi. Aku dengan lamunanku sendiri. Pikiranku dikuasai bayangan  yang menakutkan.

Takut mati. Takut  kesakitan saat cuci darah. Takut merepotkan orang lain. Takut kehilangan massa depan.

Seakan pengalamanku saat muda melawan segala macam ketakutan tak mampu kujadikan sandaran menghadapi situasi ini.

Seperti sekarang, di akhir November 2013, sudah setahun  sejak vonis itu, aku masih belum berani memutuskan untuk cuci darah.

Kudatangi RSCM dengan harapan dokter mengatakan tidak perlu cuci darah. Masih bisa dipertahankan dengan diet ketat dan disiplin minum obat.

Di sela  menunggu giliran di panggil dokter aku kedatangan seorang dokter. Teringat kemarin ada seorang perempuan  menghubungiku lewat hp. Dia mengatakan diminta oleh Ezky untuk membantu mendampingiku.

“Mas Petrus ya,” tanya perempuan berbaju putih dan berjilbab itu  kepadaku.

Aku tertegun, tak segera menjawab. Hanya tanganku yang menyabut uluran tangannya. Mulutku seakan sulit dibuka untuk mengatakan iya aku Petrus. Tertegun oleh wajahnya yang lebih mirip seorang pragawati daripada seorang dokter.

Terlambat aku menjawab pertanyaannya. Tangannya sudah ditarik dari genggam jabat-tanganku. Seketika itu aku menjawab “Iya dokter Mariya, aku Petrus,”.

“Perkenalkan juga ini Wilson temanku,” ucapku kepadanya.

Wilson sedari pagi tadi menemaniku. Dia yang antri   mengurus jaminan KJS (Kartu Jakarta Sehat). Hampir dua jam dia berdiri bersama pasien yang lain untuk mendapat lembar pengesahan jaminan berobat gratis. Aku sangat terbantu. Hanya duduk saja tak perlu menguras tenaga.

“Aku dapat cerita dari Mbak Ezky kalau Mas Petrus sedang sakit ginjal dan terancam cuci darah. Aku dimintanya agar mendampingi Mas Petrus. Sekarang bagaimana kondisinya?,” kata dokter Mariya mengawali pembicaraan.

Agak ragu  menjawababnya karena baru pertama kali bertemu dengan dokter ini. Tapi, karena kedatangannya yang meminta Ezky, keraguanku berangsur pudar.

Ezky bagiku, adalah sahabat yang kerap kali menolongku. Teringat beberapa tahun lalu dia dan Ibunya sering menolong kami. Ibunya bernama Ade Rosita Sitompul. Pada tahun 1995 beliau mendapat Yap Thiam Hien Award.

Aku  dan Wilson pada waktu itu adalah anak muda yang tergabung dalam satu organisasi yang melakukan perlawanan kepada  Rezim Soeharto. Ketika kami dibui dan mengalami kehidupan serba terbatas, Ibu dan anak itu rajin membezuk kami.

“Kreatininku sudah 7,8 dokter. Kencingku sudah sangat sedikit sekali. Setiap pagi maunya muntah, terkadang sampai seharian. Stamina merosot. Kalau berdiri dari duduk mata berkunang-kunang,” ujarku kepadanya sekaligus menghentikan lamunanku tentang Ibu Ade dan Ezky.

Dokter itu sabar sekali mendengar keluhanku. Dia seorang dokter yang pandai mendengar, Dibiarkannya aku mengurai semua gejala penyakitku. Wajahnya menampakan ketulusan semakin membuatku tidak ragu untuk mengatakan semuanya.

Dokter mulai membalas keluhanku. Ucapannya halus. Kalimat-kalimat yang dia bangun memberi kesan dia sangat empati. Dia ingin sungguh-sungguh terlibat dalam menyelesaikan persoalan sakitku.Merasakan kesulitan yang kuhadapi. Memahami akan ketakutan-ketakutan yang muncul dalam pikiranku.

Tidak seperti dokter di RSCM yang terus terang memintaku harus segera cuci darah. Kalimat pokoknya  tidak dia letakan diawal. Lebih banyak membangun argumentasi yang rasional dan cukup detail uraiannya. Gaya persuasifnya kental sekali. Kalimat harus cuci darah justru terlontar dari aku, setelah mengambil kesimpulan dari penjelasannya yang panjang lebar.

“Saya sangat salut kepada Mas Petrus, berani mengambil keputusan cuci darah sekarang. Tidak semua pasien yang dinyatakan gagal ginjal berani mengambil keputusan itu. Banyak diantara mereka melakukan  cuci darah setelah tubuhnya tak berdaya. Dalam situasi seperti ini akan semakin memerosotkan kualitas hidupnya,” ujarnya.

Dokter Mariya menawarkan aku untuk opname di RSUD Cengkareng saja. Tak perlu menunggu panggilan dokter RSCM lagi. “Terlalu lama menunggu di sini. Di RSUD Cengkareng aku punya kenalan dokter yang bertugas di sana. Hari ini Mas Petrus ke sana pasti langsung dirawat inap,” pintanya kepadaku dan Wilson.

Aku agak ragu menjawabnya, Bukan mengapa, dokter sendiri yang akan mengantarkanku ke sana. Pasti merepotkannya. Terbayang jauh jarak antara Salemba dan Cengkareng. Rasa tidak enak menghinggapi diriku.

Dokter Mariya rupanya mengetahui keraguanku. “Aku hari ini tidak ada tugas jaga. Rumahku searah dengan Cengkareng, sehingga pulangnya cukup dekat,” ucapnya dengan memaksa diriku.

Ternyata perjalanan ke Cengkareng mengalami hambatan. Terjadi kemacetan total di daerah Cengkareng. Untungnya dr Mariya bersemangat mengajak ngobrol kita berdua. Rasa bersalahku seketika hilang.

Dari ceritanya yang panjang lebar itu, ternyata dia seorang dokter yang sering melakukan kegiatan kemanusian. Sebagian waktunya dia donorkan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis. Seperti membantu para petani Lampung yang berada di Jakarta saat aksi mogok makan. Dia didaulat para aktivis untuk mengecek kesehatan para peserta mogok makan.

Dokter lulusan UGM ini juga aktif berkicau di twitter. Dunia kesehatan menjadi konsennya. Baginya, mencegah lebih penting dari mengobati. Di akunnya @DiskusiSehat aktif kultwit tentang berbagai pengetahuan tentang penyakit.

Suatu ketika dia membahas penyakit hipertensi. Dalam twittnya dia katakan hipertensi adalah the silent killer. Penyebab tekanan darah tidak terkontrol kikarena biaya, bosan minum obat, merasa sudah sembuh. Hipertensi tidak bisa disembuhkan tapi bisa dikendalikan. Hipertensi yang tidak diobati lebih berbahaya dari obat anti hipertensi itu sendiri.

“Mas Petrus dan Mas Wilson jadi donor mata ya?,” pintanya kepada kami.

Aku dan Wilson tampak kebingungan. Aku sendiri diam tak menjawab. Sebuah ajakan yang belum berani kuiyakan. Donor mata bagiku masih asing. Jujur saja aku takut, membayangkan kalau meninggal nanti kedua mataku diambil untuk didonorkan. Membayangkan kematian saja aku sudah  takut.

Dokter yang sudah mempunyai empat anak tersebut dengan ringannya bercerita tentang dirinya getol mencari pendonor mata. Seperti diriku bila bersedia menjadi pendonor akan menandatangani perjanjian. Isinya,  bila meninggal nantinya bersedia diambil organ matanya untuk didonorkan.

“Ketika pendonor meninggal, hal pertama  kulakukan menghubungi bank mata. Kami bergegas mendatangi keluarga si pedonor yang meninggal. Kami akan memberi pengertian kepada keluarga bahwa semasa hidupnya almarhum atau almarhumah telah bersedia mendonorkan mata,” jelasnya.

Bukan perkara mudah, katanya, tak sedikit dari  mereka tidak mengetahui bahwa keluarganya yang meninggal semasa hidupnya telah menandatangani kesedian menjadi donor mata.

“Itulah seni dan tantanganya, kami harus menjelaskan sepersuasif mungkin. Lega rasanya bila pulang dengan membawa mata. Sungguh berbahagia sekali bila mampu membuat seseorang dapat melihat indahnya dunia,  sembuh dari kebuataan

Aku takjub akan ceritanya. Barangkali bisa dihitung dengan jari seorang dokter yang berhati seperti ini. Menjadi relawan donor mata.

Hari berangsur gelap. Belum juga kita sampai ke RSUD Cengkareng. Dokter masih bersemangat bercerita. Rasanya aku dan Wilson sudah mengenal dia lama sekali.

Sehari saja sudah membuat kami sangat akrab. Tidak cukup di sini, hari-hari selanjutnya saya sering didampingi dr Mariya. Dialah dokter yang nantinya membuat saya berani melakukan cuci darah. Mendampingi dan memonitor saya melakukan operasi sebanyak tujuh kali. Dalam waktu setahun saya telah melakukan operasi sebanyak itu. Tiga kali diantaranya operasi cimino. Sampai hari ini saya masih memakai double lumen karena cimino saya mati. Setiap mengalami kesulitan ketika  HD, dr Mariya selalu memberi pertolongan dan konsultasi lewat hp.

Dia teman yang ringan-tangan, sekaligus  dokter yang cakap. Rasanya Tuhan telah mengirimkan MalaikatNya untuk menolongku dalam menjalani hidup sebagai pasien cuci darah.

 

*Penulis adalah Sekretaris Jendaral Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)

Sumber: www.bergelora.com

Leave a Reply