Kopi Darat Sebagai Ajang Mempererat Pertemanan dan Hiburan Bagi Pasien Cuci Darah

Mobil fortuner putih itu sudah terlihat. Setibanya di Pom Bensin Sarpa jalannya semakin pelan. Aku yakin ini pasti mobilnya. Kuhampiri dan dia menepi. Berhenti di tengah halaman Pom Bensin.
“Ayo silahkan masuk Pak, sambil dia membukakan pintu,” ujar ibu Ely.
Setelah duduk di sebelahnya kusalami dia.
“Makasih Bu Ely, sudah mau jemput aku,” ucapku..
“Nggak apa-apa. Lagian biar ramai,” ujarnya lagi.
“Kita lurus aja. Nanti lewat Ragunan belok kanan menuju ke Pasar Minggu,” ujar ku ke sopir ibu Ely.
Hari ini kami akan mengadakan Kopdar di plaza Semanggi. Ibu Ely menawari saya tumpangan mobil. Waktu aku sebutkan rumahku di Ciganjur dia nawari aku.
Padahal kami sebelumnya belum pernah berjua secara fisik. Kami menjadi kenal karena hampir setiap hari berkomunikasi di group wa KPCDI.
Ketika aku memohon untuk sekalian menghampiri Pak Amir dia setuju. Pak Amir harus didampingi karena dia kalau melihat kurang jelas. Saya jadi semakin kagum atas uluran tangannya. Pasti bu Ely adalah orang yang ringan tangan membantu orang lain.
Duagaanku paling tidak dibenarkan selama kami ngobrol sepanjang perjalanan. Dia begitu ramah dan hangat dalam berkomunikasi. Kami bisa ngobrol tanpa putus.
Aku juga kagum, seusia dengannya masih mau berkumpul dengan anak-anak muda. Usia Bu Ely sudah 50-an. Anaknya sudah bekerja. Selain semangatnya yang muda, wajahnya juga tampak lebih muda dari usianya. Bahkan dia nampak bukan sebagai pasien cuci darah. Wajahnya masih cerah. Padahal, dia sudah 5 tahun lebih menjalani cuci darah.
Baginya, berserah dan bersyukur atas kondisinya kini adalah kunci kebugarannya. “Aku senang berkumpul dengan sesama pasien. selain bisa belajar darinya juga bisa menghilangkan stres,” ungkapnya.
Sebuah perjumpaan yang berkesan.
Kopi Darat.
Ternyata kami bertiga datang paling awal. Bahkan sampai sebelum jam 12 siang. Bahkan kami mendapat mandat untuk membooking tempat di foodcourt.
“Di sini saja kali ya. Tempatnya luas,” usul Bu Ely.
Aku dan Pak Amir setuju. Sehabis tubuh kami letakan di kursi, kami segera bergegas pesan minum dan makan. Kami kehausan dan juga kelaparan.
Pak Amir tidak pesan es. “Aku sudah naik 2 kilo. Cuci darah masih Rabu,”. Ujarnya.
Aku sendiri pesan es teh tawar. Karena esnya kurang aku pesan satu gelas es batu lagi . Teman-teman belum datang tapi aku sudah habis satu gelas. Udaranya ternyata panas. AC (Air Conditioner) nya sedang bermasalah kata si penjaga counter.
Jam 12 siang teman-temana mulai berdatangan. Yang pertama rombongan Bayu, Ratih, Helsa dan Novi. Dalam hatiku bertanya-tanya bagaimana caranya mereka bisa kompak datang bersamaan. Sedangkan rumah mereka saling berjauhan. Misalnya Bayu dan Ratih. Bayu kan dari jakarta, sementara Ratih datang dari Bandung.
Bayu sendiri langsung bertugas mengabadikan acara ini dengan kameranya.
Selanjutnya datang Fidya. Cewek hitam manis ini diantar pacarnya. Mesranya mereka berdua bikin iri yang lain.Aku baru kali ini juga bertemu dengan fidya.
Oscar juga datang. Bung Oscar ini adalah patner tony berdebat di group wa. Aku juga baru bertemu dengannya pertamakali.
Acara mengalir begitu cair. Sesekali mereka menggoda Ratih. Kali ini dia menjadi anak pendiam. Suaranya diIrit. Aku nggak tahu alasannya. Atau mungkin dia akan keluarkan saat karoke nanti.
Tapi Ratih adalah salah satu peserta yang paling antusias, selain pak Hasan. Dia datang dari Bandung. “Aku sudah otw ke jakarta,” ujarnya via Whatsapp
Padahal kita yang di Jakarta pada belum mandi. Masih repot mengurusi persoalan domestik.
Acara diskusi juga dimulai walau Donny dan Pak Hasan belum datang.
Tentang kaos, panitia akan segera menghentikan massa pemesanan. Berapa yang pesan akan dibuatkan. Selanjutnya akan membuka pemesana kaos yang kedua dengan patokan waktu tertentu.
Tentang cinderamata, juga akan segera dijalankan. Oscar usul agar setiap kaos yang diproduksi diberi label KPCDI. “Kecil juga nggak apa-apa,” usulnya.
Semua yang hadir mempunyai mimpi, kedepan KPCDI mempunyai Toko online. Semua atribut yang berkaitan dengan ginjal dan cuci darah akan dibuat dalam bentuk cindera mata.
“Kita semua harus menjadi marketingnya,” usul Pak Har.
Dan ketika Donny datang, diskusi dilanjutkan tentang websitte KPCDI. Ada penambahan rubrik dan juga penanggungjawab rubrik. Seperti rubrik edukasi menjadi tanggungjawab Tony dan Oscar. Ada juga rubrik news yang bertugas pak hari. Semua juga harus menuliskan kisahnya untuk dimuat dalam rubrik profil.
Dan giliran acara yang ditunggu-tunggu oleh semua peserta tiba. Pukul 2 sore kita sepakat bepindah ke tempat karoke. Sebelum ke sana kami masing-masing iuran 50 ribu. Hal ini akan kita biasakan, agar nantinya kalau mengadakan acara lebih lancar karena semua berpartisipasi.
Tentang pembayaran makan ternyata dibayar Pak Hasan. Semua senang karena Pak Hasan yang mentraktir.
Karaoke Bersama.
Ruanganannya cukup luas. Kata Helsa mampu menampung orang sebanyak 20 orang. Lagu dibuka oleh si Ratu karoke. Siapa lagi kalau bukan Novi. Dia ingin unjuk gigi dihadapan temannya.
“Jual gorengan aja bergaya, lagunya barat lagi,” ejek Pak Amir dengan nada bercanda
Bu Ely tak mau kalah. Dia berduet dengan Pak Har. Lagu yang dipilih lagunya BCL feat Ari Lasso.
Ternyata pak Hasan piawai berkaroke. Mungkin juga dia sudah biasa karoke. Dengan tembang-tembang lawasnya dia unjuk gigi.
Sedang Helsa dan Ratih suka lagu bersyair galau. “Sudah terbiasa ditinggal sendiri. Demikian salah satu syairnya.oleh Pak Har diplesetkan sudah biasa hd sendiri.
Yang tidak disangka si Ucok. Dia cepat menyesuaikan diri. Berani menyanyi dengan suara kecilnya yang bernada tinggi.
Sementara Fidya tidak pernah sekali pun memegang mic. Yang selalu dipegang hanya tangan kekasihnya. Benar-benar Fildya menikmati suasana romantis. Sambil mendengarkan teman-teman menyanyi dia larut dalam suasana romantis dengan si doi.
Dua jam kami bernyanyi. Dua jam itu, rasanya seluruh emosi yang ada dalam tubuh kami keluarkan. Dan juga, rasanya waktu cepat berlalu.
Kami memang segera berpisah. Tapi, dari wajah kami masing-masing memendam keinginan yang begitu kuat, esok lagi kita buat yang lebih meriah. Pertemanan sesama pasien ini telah menjelma menjadi keluarga baru.